Selasa, 08 November 2016

Cerpen Seputih Salju

Seputih Salju
Oleh : Gede Putu Dharma Wijaya

“Bau ini…”
Kukedipkan mata perlahan… Semua yang kulihat tampak putih. Masih di tempat yang sama, tak ada seorang pun disini. Aku hanya bisa menghela nafas, kutarik nafas dalam-dalam mengingat kembali memori kelam. Tanpa sadar, air mata menetes membasahi pipi yang cekung. Segera kuhibur diriku, mencoba berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.
***
“Gimana Jak, Nggak bisa menang kan?”
“Kalah telak Wir, si Jono tuh, perut aja yang gede, nangkep bola aja nggak becus
“Yee… malah nyalahin orang… bolanya aja yang susah ditangkep. Lagian, perut gue udah gede dari sononya.”
Kesunyian pagi itu pun pecah dengan gelak tawa kami bertiga. Seperti biasa, kami duduk di bawah pohon beringin di halaman sekolah untuk sekedar bercanda sambil melepas penat. Biasa… sekolah kami lumayan elit, pr numpuk. Apalagi yang ngasi pr termasuk guru killer, hii… sekarang dikasi, besoknya harus sudah dikumpul. Gimana gak meledak nih otak?
*Ting tong… Ting tong…*
“Waduh, udah masuk, tugas gue belum selesai pula. Pinjem punya lu dong Jak.”
“Tugas apaan? Matematika?”
“Iya, yang ngajar Pak Putu, bisa kena hukum gue.”
“Di kelas aja, lagian pelajarannya habis istirahat kan?”
“Eh Jak, gue juga pinjem punya lu dong.”
“Enak aja lu ndut, lu udah bikin tim kita kalah. Males gue minjemin ke elu.”
“Tega amat lu…”
“Ahahaha…”
Mungkin inilah saat yang paling didamba-dambakan anak sekolah zaman sekarang. Ya… hari ini upacara ditiadakan. Terkadang doa anak sekolahan bisa jadi kenyataan, meski sebagian besar doanya jelek-jelek.
***
Seperti biasa, sejarah memang membosankan. Pada akhirnya aku hanya menatap keluar jendela, merenungkan kembali masalah ini.
“JAKA!!! UNTUK APA BANGSA EROPA MELAKUKAN PENJELAJAHAN SAMUDERA??”
“Untuk hidup pak!!”
Sontak saja, gemuruh tawa meledak di kelas ini. Pak Dika hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Kurasa jantungku hampir copot. Padahal lagi enak-enaknya melamun…
“Ssstt… kita lanjutkan pelajarannya anak-anak. JAKA, sekali lagi bapak lihat kamu melamun, bapak keluarkan kamu dari kelas ini, MENGERTI??”
“Mengerti Pak.”
Jujur saja, sebenarnya aku merasa malas pergi ke sekolah. Jika bukan karena Wira dan Jono yang selalu mendorongku, mungkin aku sudah berhenti dari dulu.
***
*Ting tong… Ting tong… Ting tong…*
“Akhirnya… istirahat juga… gue udah dehidrasi dari tadi.”
“Haha… Pak Dika mah emang gitu orangnya…”
“Lu ngelamun lagi Jak?”
“Hehe… iya Wir, penjelasannya Pak Dika bikin gue ngantuk.”
“Yaudah, gimana kalo nanti kita mancing aja? Lumayan loh… buat makan malam.”
“Gue sih ikut aja, sekalian juga ajak si Jono. Dia kan jago kalo urusan mancing.”
“Sip, di tempat biasa kan?”
“Ya dimana lagi atuh Jak?”
“Haha… oke oke”
***
“Hujan?”
Kuhapus embun yang membasahi jendela. Menghirup aroma hujan, sembari melihat bayangan diriku, menampakkan pipi dan kantung mata yang cekung.
“Hujan…”
 “…”
“Hehe… saat itu juga hujan kan?”
Aku hanya terkekeh mengingat kejadian lalu. Saat pertama kali bertemu dengan mereka.
***
Hujan deras mengguyur tubuhku. Berdiri di pinggiran danau, berteriak, meraung-raung mengumpat Tuhan. Aku benci ini. Kenapa hal ini harus menimpaku? Hanya pertanyaan itu yang mengisi kepalaku. Mungkin alam ini masih berpihak padaku. Ikut menangis untukku.
“HOOOIIII!!!! SEDANG APA KAU DISANA??!! AYO PULANG!!!”
Aku meringkuk, menggigil kedinginan. Sayup-sayup terdengar suara orang. Dari suaranya mungkin anak seumuranku. Aku tidak peduli lagi, aku benci rumah. Lebih baik aku melarikan diri saja.
“Hei, sedang apa kau disini? Hujannya lumayan deras, nanti kau sakit loh… Ayo, berteduh sebentar”
Tanpa sadar, aku pun ikut berlari. Aku dibawa ke sebuah rumah yang katanya markas rahasia mereka. Mereka? Berarti masih ada orang lain kan? Benar saja… disana temannya menunggu, sambil membawa ikan hasil tangkapan mereka di danau tempatku berdiri tadi. Kami pun berbincang-bincang sembari membakar ikan. “Tidak apalah, sambil menunggu hujan reda”, pikirku. Disana kami membicarakan banyak hal. Dari hobi, kesukaan, masa-masa sekolah, dan masih banyak hal lain. Oh iya, nama mereka… Dyan dan Jono. Setidaknya disini aku merasa lebih hidup, dibandingkan dengan rumahku sendiri.
***
“Ahahaha… Oke Jak, kita duluan ya?”
“Oke, gue juga mau ngerjain pr”
Kami pun berpisah di persimpangan jalan. Seperti biasa, aku berjalan ke arah timur, mereka ke arah barat. Hari yang cukup melelahkan bagi kami. Setelah memancing seharian, yang kami dapat hanya 5 ekor. Sungguh sial.
Samar-samar terdengar teriakan di kejauhan. Hampir tiap hari kejadian ini terjadi. Makanya aku malas pulang ke rumah.
“Om Swastyastu…”
Tidak ada yang menyahut, suasananya sangat mencekam. Meskipun ini rumahku sendiri…
Kuputuskan untuk tidur lebih awal. “Daripada mendengar ocehan mereka, mending tidur”, pikirku.
***
“PAK!!! JANGAN PAK!!!! DIA ANAK KITA!!!!”
Aku hanya bisa melongo melihat ayahku yang tiba-tiba berdiri di hadapanku sambil membawa golok. Rasa cemas, takut, gelisah, bingung, bercampur di benakku.
“BAPAAKK!!!!”
Ibuku hanya berteriak tanpa melakukan apapun. Tanpa sadar, aku melempar jam weker hingga mengenai kepala ayahku. Memukul kepalanya dengan vas bunga… Aku ketakutan dan berlari keluar rumah. Berlari sekencang-kencangnya, tanpa menghiraukan apapun.
Duduk meringkuk di bawah pohon. Tanganku gemetaran mengingat kejadian tadi. Ayahku mabuk. Aku memukulnya dengan vas bunga hingga kepalanya berlumuran darah.
Aku berjalan, terus berjalan… hingga sampai di pos kamling, tempat Rizky dan teman-temannya biasa nongkrong. Kududukkan diri disana, sambil meneguk segelas miras.
“Walah walah… tumben lu ikut nongkrong dimari Jak… Kesambet apaan lu?”
“Lagi pengen aja”
“Ohh… lu lagi depresi?”
“Heheh… biasa lah…”
“Nih, pake ini nih… dijamin depresi lu ilang… lenyap… wush wush, kayak angin…”
“Ahahaha…”
Gelak tawa mereka memecah keheningan malam itu. Sedangkan tanganku masih memegang benda yang diberi Rizky tadi. Benda kecil berbentuk tabung. Jarum suntik. Aku mengerti dengan perkataan Rizky, dan masih berpikir dua kali untuk memakai obat haram ini. Tak terasa tanganku dengan lincahnya menusukkan ujung jarum ke lengan kiriku. Menyuntikkan isinya, sambil menikmati khayalan-khayalan aneh di otakku. Dunia terasa nyaman, kedamaian macam apa ini? Tak terpikirkan olehku bisa menikmati dunia dengan keadaan keluarga yang seperti ini. Aku hanya diam, terkekeh kecil, linglung, hingga akhirnya tertidur disana.
***
“JAK!!”
“JAAKK!!!”
“JAKA SEKAWAN!!!!!”
“hoaahm… hmm?”
“Buset dah… kirain udah mati nih anak”
“Iya nih, lu napa molornya udah kek mayat? Ga bangun-bangun dari tadi”
“hoaahmm… Cuman ngantuk dikit. Kemarin begadang semaleman”
“Yakin lu? Muka lu pucet kek gitu”
“Iya Wir, nih anak udah kayak tengkorak berjalan. Liat noh, badannya kering kek gitu”
“Lu beneran sehat Jak? Perlu gue ama Wira nganter lu ke UKS? atau pulang aja sekalian?”
“Ga usah, gue sehat-sehat aja…”
“Yaudah kalo gitu… Siap-siap sono, bentar lagi jam olahraga kan?”
“Iya iyaa… bawel amat lu berdua”
Sudah 9 tahun berlalu sejak saat itu. Sekarang aku masuk di universitas. Merantau sendirian, meninggalkan kedua orang tuaku. Toh tidak ada untungnya juga tinggal dengan mereka.
“Oke anak-anak!!! Lari keliling lapangan 5 kali!!!”
“Siap pak!”
Tiba-tiba pandanganku kabur, entah apa yang terjadi… Kurasa aku pingsan. Orang-orang mengerubungiku, aku dibopong, dan… entah, aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
“Bau ini…Rumah sakit?”
*uhuk.. uhuk..*
Sudah kuduga hal ini akan terjadi. Hari penebusan dosa bagiku. Karena menggunakan obat haram itu. Cita-cita dan harapan yang kugantung tinggi-tinggi jadi sia-sia. Tak ada gunanya lagi aku hidup…
“Jaka Sekawan?”
“I-iya..”
“Dimana keluargamu? Ayah? Ibu?”
“Mereka.. tinggal terpisah dengan saya dok, sek.. *uhuk…* sekarang sudah tidak berhubungan lagi”
“Kerabat?”
“Tidak punya”
“Kamu di diagnosa terkena AIDS”
“Iya… dok”
Ya… aku masuk rumah sakit, sendirian, tanpa ada yang menjenguk. Penyesalan memang selalu datang terlambat…
***
“Kenangan yang pahit”, pikirku.
Aku pun kembali tidur di kasurku yang nyaman. Melamunkan masa-masa sekolahku dulu. Hanya inilah yang bisa kulakukan sekarang. Menyesal… Penyesalan tiada akhir.
Terkadang aku berpikir, bagaimana jika aku menjadi dokter nanti? Pasti akan membantu banyak orang kan? Apalagi orang-orang sepertiku, dengan penyakit ini. Penyakit yang obatnya belum ditemukan.

Jika saja… jika saja penyakit ini bisa disembuhkan nanti, aku akan bergabung dengan mereka, gerakan pencegahan HIV/AIDS. Ikut mengingatkan tentang bahaya obat-obatan yang kugunakan dulu. Namun rasanya semua itu sudah terlambat. Harusnya aku menyadari hal ini dari dulu… Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tak bisa diubah kembali. Aku hanya bisa diam, terkurung disini. Di ruangan ini, ruangan seputih salju.

1 komentar: