Selasa, 08 November 2016

CRASH INTO YOU
Karya: aliaZalea

PROLOG

“Nadia pipis di celana, Nadia pipis di celana,” Kafka menyanyikan kata-kata itu dengan nada mengejek sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Kris dan Gempur. Mereka adalah anak-anak kelas lima paling bandel di sekolah ini, dengan Kafka Ananta sebagai ujung tombaknya.

“Aku nggak pipis di celana,” bantahku sekeras-kerasnya.

Kafka terdiam sambil menatap rok merahku yang basah di bagian depannya,  kemudian sekali lagi dia tertawa dan mulai menyanyikan lagu ciptaannya berjudul “Nadia Pipis di Celana” dengan lebih kencang..

Aku sudah siap menangis mendengar lagu yang penuh ejekan ini. Rokku memang basah di bagian depannya, tetapi bukan karena air kencing melainkan karena Ayu, teman sekelasku tidak sengaja mengarahkan selang yang sedang mengucurkan air dengan cukup deras ke arahku. Kami sedang melakukan piket pagi itu aku dan Ayu kebagian mencuci ember yang ada di dalam kelas, yang biasanya digunakan para guru untuk mencuci serbuk kapur yang mengenai tangan mereka. 

Ayu sudah mengatakan maaf berpuluh-puluh kali selama lima belas menit ini dan meskipun kesal padanya, aku tidak bisa marah karena dia memang tidak sengaja.

Hari itu hari senin, anak-anak lain sudah berada di lapangan untuk upacara yang akan di mulai sebentar lagi, sehingga kelasku kosong melompong. Aku dan Ayu sedang memikirkan cara untuk mengeringkan rokku ketika Kafka dan pasukannya lewat di depan kelasku sebelum kemudian melangkah masuk untuk mengetahui kenapa aku, anak kesayangan guru-guru, belum turun ke lapangan.

“Kafka ini Cuma air,” omel Ayu yang sedang mencoba mengeringkan rokku dengan tisu. Aku sedang berdiri dan Ayu sedang berlutut di hadapanku.

“Hahaha… kalau Cuma air kok baunya aneh?” Gempur bertanya yang langsung didukung anggukan konco-konconya.

“Memang ada baunya?” tanyaku sambil berbisik pada Ayu.

Tanpa ragu-ragu Ayu langsung mencium rokku. “Aku nggak nyium bau apa-apa,” ucapnya.
Bel pun berbunyi yang menandakan bahwa upacara akan segera dimulai.

Aku mulai panas-dingin karena takut dihukum oleh Ibu Endang, wali kelasku, gara-gara belum berada di lapangan seperti seharusnya. Tiba-tiba kudengar gelegar suara Pak Jack, kepala sekolah kami “Kalian masih di sini? Upacara sudah mau dimulai.”

Ayu langsung bangun dari hadapanku dan menatap Pak Jack dengan mata terbelalak.
Pak Jack memang dikenal sebagai guru paling galak, semua anak takut padanya, termasuk aku. Ketiga anak laki-laki itu langsung kabur, tetapi sebelumnya Kafka sempat mengatakan dengan suara rendah sehingga Pak Jack yang berdiri di depan pintu tidak bisa mendengar.

“Kamu turun saja ke bawah, roknya nggak terlalu basah kok,” ucapnya dengan senyuman khasnya yang penuh keisengan.

“Nggak terlalu basah gimana, aku sudah seperti tikus kecebur got,” balasku.

“Nggak kok, kamu nggak kayak tikus kecebur got. Itu terlalu dangkal, kalau sumur, naaahhh… itu lebih mungkin.” Setelah mengatakan ini Kafka langsung tertawa terbahak-bahak sambil berjalan santai ke arah pintu.

“Kafka, kamu nggak lucu,” omelku, tapi Kafka hanya melangkah mundur sambil nyengir dan menghilang dari hadapanku, mengikuti kedua temannya yang sudah ngacir terlebih dahulu.

Aku tidak tahu kenapa Kafka yang aku kenal semenjak kami kelas satu SD dan selama ini tidak pernah ada masalah denganku tiba-tiba mulai suka menggangguku ketika kami menginjak kelas lima. Selama ini aku tidak pernah peduli padanya karena meskipun dia bandel, tetapi dia tidak pernah memilihku sebagai korbannya, hingga beberapa bulan yang lalu. Dan semenjak itu pula hari-hariku jadi mulai berantakan. Awalnya aku tidak menghiraukannya dengan harapan bahwa dia akan berhenti dengan sendirinya. Tetapi semakin aku tidak menghiraukannya, keisengannya semakin hari justru semakin menjadi.

Pak Jack bertolak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ketiga anak itu. Aku menggeram kesal.

“Nadia, kamu nggak turun?” suara Pak Jack langsung terdengar ramah ketika menanyakan hal itu. Aku akui bahwa aku memang anak emas guru-guru di sekolahku. Selain karena hampir selalu juara kelas, aku juga selalu menurut dan tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun.

“Sebentar lagi, Pak,” balasku yang disambut anggukan Pak Jack sebelum beliau pun menghilang dari hadapanku. Aku bisa saja meminta bantuan Pak Jack, tetapi aku terlalu malu untuk berbicara dengan guru laki-laki.

“Aduh, gimana dong, Yu, bel kedua sudah mau bunyi bentar lagi.” Aku mulai panik. Kulirik rokku dan berteriak terkejut ketika menyadari keadaannya yang lebih parah daripada setengah jam yang lalu sebelum Ayu mencoba mengeringkannya dengan tisu. Rok itu masih tetap basah dan sekarang ada beberapa serpihan putih yang menempel. “Ini sih lebih parah dari yang tadi,” geramku. “Sori ya, Nad, aku nggak sengaja,” Nada Ayu yang penuh dengan penyesalan membuatku merasa bersalah karena telah menyuarakan kefrustasianku.
Aku menutup mataku untuk berpikir. Aku tidak mungkin turun ke lapangan dengan keadaan seperti ini. Aku harus meminta Ayu agar mencari Ibu Endang secepatnya. Aku rasa sekolahku pasti punya rok cadangan yang bisa kupinjam selama menunggu rokku kering. Ketika aku mengemukakan pendapat itu, Ayu langsung setuju dan menghilang juga dari hadapanku. Aku tiba-tiba merasa pusing dan harus duduk. Aku pun duduk dikursi terdekat sebelum kemudian meletakkan kepala di antara kedua telapak tanganku dan menutup mata, tetapi sakit di kepalaku justru semakin menjadi.
Nyut… nyut… nyut… dan ketika kubuka mataku kembali aku tahu bahwa aku sudah tidak berada di ruangan kelas SD-ku itu. Kuperhatikan sekelilingku untuk mencoba menebak keberadaanku. Ruangan ini terlihat terang karena disirami sinar matahari yang masuk melalui jendela besar yang terbentang di hadapanku. Perlahan-lahan kuangkat kepalaku dari atas bantal, menggeram, dan memaksa tubuhku untuk duduk. Kepalaku rasanya sudah mau pecah dan mulutku terasa kering, efek samping dari terlalu banyak alcohol di dalam darah. Sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Kini dengan keadaan duduk aku bisa lebih memahaminya. Sepertinya aku berada di dalam kamar hotel. Kamar hotel yang mewah kalau di lihat dari set sofa yang ada di sebelah kiri dan TV plasma yang menempel pada dinding di depan tempat tidur. Selain itu kamar hotel ini juga memiliki meja kerja yang sepertinya terbuat dari kayu antic.
Sebuah laptop berwarna putih terbuka di atas meja itu.
Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku, bermaksud untuk berdiri, tetapi kemudian kulihat bahwa aku tidak mengenakan apa-apa di bawah selimut itu selain bra dan celana dalamku. Buru-buru kutarik selimut itu hingga ke dagu. Sekali lagi aku mengintip ke dalam selimut untuk memastikan bahwa aku memang hanya mengenakan pakaian dalam. Pemandangan di bawah sana tidak berubah dari sepuluh detik yang lalu dan untuk kedua kalinya pagi itu, aku menggeram. Tempat tidur yang kutiduri berukuran King dan masih terlihat cukup rapi, meskipun keempat bantal extra besar yang ada di atasnya terlihat sudah ditiduri. Yang dua olehku, sedangkan yang dua lagi oleh seseorang yang bukan aku. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah kulakukan semalam. Aku hanya bisa mengingat suara music yang superkeras, lampu yang gemerlapan, suara tawa ketiga sobatku, dan bergelas-gelas Apple Martini. Entah berapa banyak alcohol yang sudah masuk ke dalam tubuhku. Para bartender seharusnya dilarang untuk menyatukan alcohol dengan buah-buahan karena rasa manis atau asam dari buah itu benar-benar bisa menyembunyikan rasa pahit yang seharusnya ada, sehingga seseorang tidak tahu bahwa dia sudah mabuk sampai dia terbangun di kamar hotel yang bukan miliknya.
Ya Tuhan… jadi ini kamarnya siapa? Meskipun kamar ini memang mirip sekali dengan kamar hotelku, tetapi aku yakin ini bukan kamarku yang memiliki dua tempat tidur berukuran Queen, bukannya satu berukuran King. Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada suara shower yang sedang dihidupkan. Itu berarti bahwa aku tidak sendirian di dalam kamr hotel. Aku mencoba menenangkan rasa panic yang mulai muncul ke permukaan. Nadia… tenang… itu mungkin Cuma salah satu sobat lo yang lagi mandi. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu bahwa orang di dalam kamar mandi itu pasti bukan temanku. Perlahan-lahan aku bangun dari tempat tidur dan tanpa menghiraukan tubuhku yang setengah telanjang aku mulai mengelilingi ruangan untuk mencari bajuku. Kutemukan jinsku tersampir pada lengan sofa, dibawahnya kutemukan kausku. Aku segera mengenakan keduanya sebelum kemudian mulai mencari sepatuku.
Kutemukan sepatuku di bawah kursi meja kerja, pada saat itulah aku menyadari bahwa ada satu set sepatu laki-laki persis di sebelah sepatuku. Aku harus menutup mulutku agar tidak meneriakkan keterkejutanku. Sepatu laki-laki?! Panik, buru-buru kutarik sepatuku dari bawah kursi. Selama melakukan ini semua aku berpikir, tadi malam aku nggak bercinta sama laki-laki tidak dikenal, kan? Bukannya itu sesuatu yang baru karena aku sudah bukan perawan lagi semenjak kuliah, tetapi aku tidak mau melakukannya dengan laki-laki yang aku bahkan tidak bisa ingat wajahnya. Tiba-tiba aku menyadari bahwa sudah tidak ada bunyi shower lagi. Kusabet sepatuku, dan tanpa mengenakannya aku langsung berlari menuju pintu keluar. Aku baru saja berhasil membuka pintu itu ketika kudengar pintu kamar mandi di belakangku dibuka, disusul dengan suara berat yang hanya bisa dimiliki oleh laki-laki.
“Mau ke mana buru-buru?”
Aku terpekik karena terkejut dan langsung memutar tubuhku dan harus menarik napas ketika berhadapan dengan dada paling bidang yang pernah kulihat sepanjang hidupku sebagai wanita dewasa. Kemudian kutarik mataku ke atas untuk menatap pemilik dada itu dan suhu tubuhku langsung naik sepuluh derajat. Kalau saja punggungku tidak bisa menempel pada daun pintu, aku mungkin akan mengambil satu langkah mundur saat itu juga. Ternyata dia tidak hanya memiliki dada yang bidang dan perut yang bisa digunakan sebagai papan untuk membilas baju, tetapi dia juga memiliki wajah yang bisa membuat semua wanita histeris hanya karena melihatnya. Wajah itu memang tidak bisa digolongkan ganteng karena garis-garis rahangnya terlalu kuat untuk disatukan dengan hidung yang berukuran kecil, meskipun mancung. Selain itu alisnya juga terlalu tebal. Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak bisa memalingkan tatapanku dari wajah itu. Aku baru menyadari setelah beberapa menit bahwa daya tarik laki-laki ini adalah aura misterius yang ada pada dirinya, seakan-akan dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu.
“Iya… aku… harus… pergi,” ucapku terbata-bata karena aku baru menyadari bahwa laki-laki ini pada dasarnya sedang telanjang kecuali handuk putih yang tergantung rendah pada pinggulnya. Entah apa yang bisa kulihat kalau berani menarik handuk itu ke bawah. Aku segera memerintahkan bagian diriku yang sepertinya ingin bercentil-centil ria pagi ini untuk membuang jauh-jauh segala pikiran kotor yang direncanakannya.
“Kamu harus pergi ke mana hari Sabtu pagi begini?” Tanya laki-laki itu sambil melangkah keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar dan dengan begitu berada lebih dekat denganku.
Aku hanya bisa menatap wajah laki-laki itu sambil memeluk kedua sepatuku seolah benda itu adalah benda paling berharga yang pernah kumiliki. Otakku beku sehingga tidak ada satu kata pun yang terlintas di dalam pikiranku. Tanpa kusangka-sangka laki-laki itu kemudian tersenyum sambil menyisir rambut basahnya dengan jari-jari.
“Kamu nggak ingat aku, ya?” tanyanya.
Aku menatapnya terkejut. Apa aku seharusnya mengenal dia? Aku yakin kalau aku sampai kenal dengan laki-laki berwajah seperti ini aku tidak akan lupa. Apa dia artis? Kusipitkan mataku mencoba untuk memastikan. Nggak, dia bukan artis, tetapi ada sesuatu yang familier dengan matanya yang sekarang sepertinya sedang menelanjangiku. Mata itu sekarang lebih gelap, mungkin karena telah melihat hal-hal yang mengejutkannya selama dua puluh tahun ini, tetapi aku masih bisa melihat kebandelan yang dulu juga.
“Kafka?” ucapku pelan.
“Hei, Nad-Nad,” ucap Kafka, sambil menyeringai.













Bab 1

27 Agustus
Siapa sangka gue bakal ketemu dia lagi? Kenapa harus sekarang? Gue pakai bikin malu diri sendiri di depan dia pula. Gue nggak tahu mau dikemanain muka gue ini. Terus kenapa juga dia harus sok ramah sama gue sih? Toh gue sudah tahu belangnya dari dulu-dulu. Dan gue yakin dia nggak banyak berubah. Oke, itu nggak benar. Ada beberapa perubahan pada dirinya, terutama tampangnya dan tubuhnya yang… ya ampun, gue mungkin bakal masuk neraka kalau mikirin tubuh it uterus. Ermm… kalau dipikir lagi. Sebenarnya gue sekarang nggak Cuma “Mungkin” masuk neraka. Gue memang sudah di neraka *** 

“Ya ampun… apa kabar?” tanyaku sambil perlahan-lahan mengambil langkah untuk mendekatinya. Hanya Kafka yang akan memanggilku Nad-Nad. Walaupun dulu dia akan mengatakannya dengan nada mengejek sehingga lebih terdengar seperti “Nyat-Nyat”. Aku masih tidak menyangka bahwa laki-laki yang sekarang berdiri di hadapanku hanya dengan menggunakan handuk adalah anak laki-laki yang paling kubenci sepanjang hayatku.
Kafka tertawa mendengar nadaku yang betul-betul terdengar terkejut ketika melihatnya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Kamu gimana?” tanyanya balik.
“Aku biasa saja,” balasku
“Aku selalu mikir kamu pasti ada sisi liarnya, tapi aku nggak nyangka anak emasnya sekolah kita ternyata suka clubbing dan minum.” Cara Kafka mengatakannya tidak seperti orang yang sedang menilaiku. Dia benar-benar terdengar terkejut bahkan sedikit penasaran.
Liar? Apa aku tidak salah dengar? Kafka menggunakan kata liar untuk menggambarkan diriku. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa tersinggung atau tersanjung dengan kata itu. Pada saat yang bersamaan, aku mencoba memutuskan dari mana dia tahu bahwa aku memang pergi clubbing tadi malam? Tetapi kemudian aku menyadari bahwa pakaian yang kukenakan pada dasarnya sudah meneriakkan statusnya sebagai pakaian clubbing dengan glitter yang bisa membutakan mata kalau dipandang terlalu lama. “Ooohhh… ini Cuma jarang-jarang saja kok. Aku nggak banyak berubah. Masih tetap kutu buku dan ngebosenin.”
“Kamu nggak pernah ngebosenin dan style kutu buku kamu itu malah bikin aku selalu penasaran sama kamu.” Kafka lalu membuka lemari pakaian yang ada di sebelah kanannya dan narik sehelai kaus putih, sehingga dia tidak melihat ekspresi wajahku yang sedang menatapnya dengan mulut terbuka. Kalau saja kata-kata itu diucapkan dengan nada lain, aku mungkin tidak akan merasa ge-er, tetapi cara Kafka mengucapkannya seakan-akan dia sedang mengujiku. Nggak… nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar. Kafka tidak memiliki kemampuan untuk menguji orang, dia hanya bisa mengejek.
Tanpa memedulikan diriku yang masih berdiri di hadapannya Kafka mengenakan kaus putih itu dan aku harus menutup mataku ketika dia melepaskan handuk yang mengelilingi pinggulnya. Tetapi ketika aku mengintip dia ternyata sudah mengenakan celana dalam jenis boxer-briefs berwarna hitam di bawah handuk itu. Aku mencoba menahan diri agar tidak mendengus karena menyadari kekonyolanku yang sudah berpikir terlalu jauh.
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku mencoba mengisi keheningan. Meskipun sudah ingin melarikan diri dari hadapan Kafka, tetapi aku telah dibesarkan untuk mengutamakan tata krama jika bertemu dengan orang yang kita kenal. Meskipun orang tersebut adalah Kafka si anak sialan itu.
“Di hotel ini maksud kamu?” balas Kafka sambil menarik jins yang di gantung di dalam lemari sebelum mengenakannya.
Saat itu aku menyadari betapa gobloknya pertanyaanku itu. Mencoba menutupi kesalahanku, aku menambahkan, “Bukan, maksudku di… uhm… di…” aku berusaha sebisa mungkin mengingat-ingat dimana aku berada, tetapi tidak satu nama pun muncul di kepalaku.
“Di Bali?” Kafka mencoba membantuku.
“Iya… di Bali,” teriakku antusias.
Kafka hanya menggeleng sambil memasang kancing celana jinsnya.
“Cuma ada seminar saja,” jelasnya sembari mengeluarkan sabuk kulit suede berwarna cokelat muda dari dalam lemari dan mulai melingkarkannya di pinggangnya.
Aku hanya mengangguk-angguk, mencoba untuk mencari topic lain, dan yang keluar dari mulutku adalah, “Kenapa aku ada di sini?”
“Kamu nggak ingat?” tanyanya sambil bertolak pinggang dan mengerutkan dahi. Aku tidak memberikan jawaban, tetapi hanya diam, menunggu penjelasannya.
“Aku temuin kamu lagi teller di lift dan aku bawa kamu ke sini,” jelas Kafka.
“Kenapa harus ke sini? Kenapa dia tidak mengantarku kembali ke kamarku? Itulah pertanyaan selanjutnya yang muncul di kepalaku.
Aku menyadari bahwa aku sudah menyinggung perasaannya ketika dia berkata, “Kamu pikir aku laki-laki model apa?” Aku sebetulnya ada beberapa kata-kata seperti “Sialan”,”tidak punya hati”, dan lain-lain, yang bisa kugunakan untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi mendengar nada tajamnya aku memilih untuk diam. “Nggak mungkin, kan,aku ngebiarin kamu ngerusak reputasi good girl kamu yang ditemukan tidak sadar diri dan bau alcohol di dalam lift hotel? Lagian juga aku nggak tahu nomor kamar kamu, aku Cuma tahu kamu tamu di sini, soalnya aku nemuin kartu kunci kamar hotel ini di dalam tas kamu, jadi aku Cuma ngambil keputusan yang menurutku paling benar saat itu,” lanjut Kafka.
Kuanggukan kepalaku, lebih karena aku masih terlalu pusing untuk adu mulut dengannya daripada karena aku menerima alasan yang telah dikemukakannya. Kafka mengusap-usap dagunya sambil menatapku dengan ekspresi antara kesal dan terhibur. Tiba-tiba aku menyadari betapa anehnya keadaan ini dan mengucapkan satu-satunya hal yang muncul di kepalaku, “So, I’m gonna go. Nice to see you again.”
Buru-buru kubuka pintu kamar hotel itu, melangkah ke lorong dan berjalan secepat mungkin tanpa berlari ke arah kanan. Tetapi aku langsung menghentikan langkahku dan memutar tubuh.
“Nad, kamu mau kemana?” Tanya Kafka dengan suara dan wajah yang terlihat agak sedikit bingung. “Ke lift,” jawabku pendek dan memutar tubuhku untuk kembali berjalan ke arah yang tadi sedang kutuju ketika kudengar suara Kafka lagi.
“Kamu salah arah, Nad,” Mendengar kata-kata itu sekali lagi kuhentikan langkahku dan menatap sumbernya.
“Liftnya di sebelah sana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari arah yang telah kuambil.
Aku menahan diri untuk tidak menggeram dan tersenyum simpul kepada Kafka, lalu mulai berjalan ke arah yang di tunjukkannya. Ketika aku melewati Kafka, sekali lagi langkahku terhenti oleh kata-katanya. “Omong-omong ini kayaknya punya kamu deh. Soalnya jelas-jelas ini bukan punya aku. Not my style.” Dia sedang menggenggam clutch berwarna emas yang kubawa tadi malam.
Kuulurkan tangan untuk mengambil clutch itu dari genggamannya ketika tiba-tiba Kafka menarik pergelangan tanganku. Aku terpekik karena terkejut, sedangkan Kafka hanya tersenyum dan meletakkan clutch itu di dalam telapak tanganku yang terbuka sebelum kemudian menyelubungi tanganku dengan kedua tanganku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap tanganku yang ukurannya relatif kecil, yang kini hampir tidak kelihatan di dalam genggaman kedua tangannya yang besar. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian menunduk dan mencium pipi kananku.
***
Setelah merasa cukup aman berada di dalam lift yang kosong, kukenakan sepatuku kembali. Melalui lift ini setidak-tidaknya aku tahu bahwa tebakanku benar. Aku memang masih berada di dalam hotelku tetapi sekitar tiga lantai lebih rendah dibandingkan kamar hotelku. Selama perjalanan menuju lantai enam kuputar otakku untuk mencari penjelasan bagaimana aku bisa berakhir di kamar Kafka, tetapi ingatanku masih kabur.
Kucoba untuk menenangkan jantungku yang berdetak dengan suara yang cukup keras dan tempo yang tidak bisa terkendali . tetapi setidak-tidaknya sakit kepalaku sudah sedikit reda, hingga ketika kusadari satu hal yang sudah aku coba kesampingkan dengan paksa selama beberapa menit ini karena aku belum sanggup untuk menghadapinya, yaitu bahwa ada kemungkinan besar aku tadi malam bercinta dengan… kutarik napas dalam-dalam mencoba menahan sakit kepala yang sepertinya akan kambuh lagi. Dengan Kafka. Aku bercinta dengan Kafka? Apa mungkin? Nggak mungkin. Tapi… aggghhh… bencana! Ini bencana. Setidak-tidaknya aku berharap bahwa dia memiliki kesadaran untuk mengenakan pelindung karena sekarang bukan waktu yang tepat untukku untuk berhubungan seksual tanpa menggunakan pelindungan. Kalau betul-betul sial, aku bisa hamil.
SHIT. Sepanjang hidupku aku hanya pernah bercinta satu kali dan tanpa perlindungan, yaitu dengan Jimmy, pacar keduaku. Untungnya peristiwa itu tidak membuatku hamil. Yang aku ingat dari pengalaman pertamaku itu adalah bahwa aku cinta mati dengannya sehingga rela melakukan apa saja untuknya. Tapi, ternyata Jimmy menyerangku dengan ganas. Alhasil, hubungan yang telah aku jalin dengannya selama hampir dua tahun terpaksa aku akhiri seminggu kemudian karena aku tahu hakku sebagai seorang wanita untuk memutuskan bahwa tidak ada laki-laki mana pun yang berhak mengobrak-abrik diriku atas nama cinta. Setelah kejadian itu aku berjanji untuk tidak akan pernah bercinta lagi dengan laki-laki mana pun sampai aku menikah.
Aku tahu bahwa kalau sampai orangtuaku, kedua kakakku, dan sobat-sobatku (kecuali Jana yang kemungkinan besar kehilangan keperawanannya pada saat yang bersamaan denganku, tapi di benua berbeda) tahu bahwa aku bukan perawan lagi dalam usia yang bisa dibilang relative muda, mereka pasti akan terkejut dan sangat kecewa. Itu sebabnya aku tidak pernah bercerita apa-apa kepada mereka. Tetapi aku tahu bahwa orang-orang terdekatku ini tidak buta, meskipun mereka tidak pernah dan tidak akan pernah menanyakannya padaku.
Sejujurnya, aku telah diajari oleh orangtuaku bahwa bercinta di luar nikah itu tabu. Dan aku ingin menjaga statusku agar tidak kelihatan seperti perempuan gampangan. Untungnya aku tidak perlu khawatir gosip mengenai hilangnya keperawananku tersebar, karena sejujurnya, kalaupun gosip itu ada, aku rasa tidak akan ada orang yang percaya. Aku bisa membayangkan kata-kata apa yang akan keluar dari mulut mereka semua.
“Nadia? Sudah nggak perawan? Nggak mungkin.”
“Nadia? Seks? Gue rasa tuh anak mungkin nggak tahu seks itu apa.”
“Nggak mungkinlah dia sudah ML sama cowoknya di luar nikah. Dia bukan tipe perempuan kayak gitu, lagi.”
Kalau saja orang-orang ini tahu yang sebenarnya, mereka mungkin akan sama kagetnya seperti keluarga dan sobat-sobatku.
Ya ampuuu…nnn Tiba-tiba aku teringat pada STD, alias Sexually Transmited Diseases- penyakit menular seksual. Bagaimana mungkin tiga huruf yang seharusnya tidak berarti apa-apa itu bisa membuat bulu di tengkukku langsung berdiri? Aku membuat catatan di dalam kepalaku untuk pergi cek kesehatan begitu aku sampai di Jakarta lagi. Aku akan bunuh Kafka kalau sampai dokter menemukan hal-hal yang aneh, entah itu penyakit kelamin, AIDS, apalagi bayi di dalam tubuhku. Aggghhh… amit-amit jabang bayi. Kututup mataku beberapa detik dalam usaha menenangkan diriku, dan ketika pintu lift terbuka lagi kukeluarkan kartu kunci kamar hotel dari dalam clutch-ku. Setidak-tidaknya aku masih ingat di mana aku menyimpan kartu kunci itu. Seperti kartu kunci kamar hotel pada umumnya, kartu kunci ini tidak mencetak nomor kamar untuk keselamatan tamu hotel seandainya kartu kunci ini jatuh ke tangan yang salah. Itu sebabnya kenapa Kafka tidak bisa mengantarku kembali ke kamarku karena dia memang tidak bisa tahu nomor kamarku. Sambil masih bingung dengan kejadian pagi ini, kucoba untuk membuka pintu kamarku sepelan mungkin agar tidak membangunkan teman-temanku. Tanpa kusangka-sangka pintu itu ditarik dari dalam dan aku hampir saja jatuh tersungkur karena tanganku masih menggenggam gagang pintu.
“Ya ampun, Nad, lo ke mana sih tadi malam?” meskipun Adri sedang berbisik tetapi aku bisa merasakan adanya nada hampir histeris di belakang bisikan itu. “Gue telepon Hp lo berkali-kali tapi lo nggak angkat,” lanjutnya. Di antara ketiga sobatku, sebetulnya aku paling tidak mengenal Adri kalau dihitung dari lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama. Adri baru-baru ini saja kembali dari Amerika, tempat dia bermukim semenjak SMA. Tapi selalu ada satu hal yang bisa kuandalkan dari Adri, yaitu kepeduliannya pada orang lain. Untuk hal yang satu itu, dia tidak pernah berubah semenjak SMP. “Yang lain ke mana?” tanyaku sambil berbisik juga dan melangkah masuk ke dalam kamar sebelum kemudian menutup pintu.
“Dara baru saja tidur, habis nungguin elo nggak balik-balik juga. Kalau Jana, gue nggak yakin tuh anak bakalan bisa bangun sebelum tengah hari,” lapor Adri mengenai keadaan kedua sobatku yang lain sambil terkikik. Dara adalah sobatku yang paling dekat, tapi lain dengan Adri, dia tidak bisa diandalkan bahkan hanya untuk memastikan agar aku tetap sadar di bar semalam.
Kedatangan kami ke Bali memang untuk merayakan status baru Jana sebagai calon pengantin kurang dari tiga bulan lagi. Aku, Adri, dan Dara memang sudah berniat dari awal untuk membujuk Jana, seorang perawan kalau sudah urusan alcohol, untuk minum sebanyak-banyaknya. Kapan lagi dia bisa melakukan hal itu kalau dia sudah menikah dengan calon suaminya yang berasal dari keluarga paling uptight yang pernah aku temui? Aku yakin mereka tidak akan memperbolehkan Jana bertingkah laku tidak senonoh sama sekali. Jana adalah satu-satunya sobatku yang hingga sekarang tidak pernah bisa kupahami betul jalan pikirannya. Dia adalah tipe orang yang selalu melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh orang lain darinya. Intinya dia tidak pernah bisa ditebak.
“Berapa banyak martini sih yang dia minum?” tanyaku sambil melepaskan sepatuku dan melangkah masuk ke kamar mandi.
“Gue sudah nggak ngitung lagi setelah yang kelima.” Adri pun melangkah masuk ke kamar mandi yang besar itu dan menutup pintu. Dia kemudian duduk di atas toilet yang sedang dalam keadaan tertutup. “Kita kayaknya bakalan dibantai sama lakinya kalau dia sampai tahu,” ucapku sambil menatap Adri yang kusadari kelihatan agak kuyu dan pucat. “Jangan bilang ke gue kalau lo nggak tidur semalaman karena nungguin gue deh?” lanjutku khawatir.
“Nggak. Gue sudah tidur dan tadi dibangunin sama Dara jam lima,” jelas Adri. Aku pun mengembuskan napas lega. Aku betul-betul tidak berniat untuk membebani sobatku hanya karena keteledoranku yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Lalu aku menghadap ke cermin dan berteriak.
“What? What?” Teriak Adri sambil melompat ke atas toilet dan melihat ke sekelilingnya dengan wajah panik.
Kuputar tubuhku untuk menghadap Adri. “Lo ngapain berdiri di atas toilet?” tanyaku bingung.
“Lha.. elo kenapa teriak?” balas Adri sambil bertolak pinggang.
“Lo kok nggak ngomong ke gue sih kalau tampang gue kayak gini?” omelku sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjuk.
Rambutku yang tadi malam kelihatan seksi dengan bantuan curling iron dan hair spray kini terlihat seperti rambut Kuntilanak. Selain itu, ada garis hitam di bawah kedua mataku akibat tidur dengan mascara, dan lipstikku yang berwarna merah sudah berpindah ke pipi kananku. Bagaimana mungkin Kafka tidak tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatku, anak perempuan yang selalu terlihat rapid an tidak akan pernah ditemukan dengan satu helai rambut pun yang salah tempat, berpenampilan seperti ini? Untungnya aku tidak bertemu dengan tamu lain ketika berada di dalam lift, karena aku tidak yakin bahwa mereka akan bisa mengontrol reaksi mereka sebaik Kafka.
Adri mengembuskan napas. “Lo Cuma teriak gara-gara tampang lo? Gue sangkain lo lihat kecoak.” Perlahan-lahan Adri turun dari atas toilet.
“Mana ada kecoak di hotel bintang lima?” balasku dengan nada agak sedikit tajam karena merasa sedikit tersinggung sebab Adri sepertinya tidak memedulikan keluhanku akan penampilanku.
“Bisa saja kan kalau itu kecoak Hollywood,” bantah Adri sambil mendudukkan dirinya kembali di atas toilet dengan wajah sedikit kesal.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil mengikat rambutku dan mulai memercikkan air dingin pada wajahku. Perlahan-lahan pikiranku mulai jernih kembali.
“By the way serius deh, elo ke mana sih tadi malam? Gue bilang ke elo supaya tunggu gue di depan pintu bar, gue masuk sebentar buat ambil tas. Eh… pas gue keluar elo sudah hilang,” ucap Adri dengan nada lebih serius. Adri yang memang tubuhnya sangat sensitive dengan alcohol, lebih memilih untuk minum Coca-cola tadi malam, sehingga mungkin hanya dia semalam yang masih sadar seratus persen. Sambil membersihkan wajahku dengan cleanser, sepotong demi sepotong kejadian tadi malam mulai kembali lagi padaku. Aku memang sedang berdiri sambil menyandarkan punggung pada pintu kaca masuk bar dan menunggu hingga Adri kembali. Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku bisa kembali ke kamar sendiri, tapi Adri tetap bersikeras untuk mengantarku. Perutku masih terasa agak sedikit mual yang kemungkinan besar disebabkan oleh tiga gelas martini yang aku minum satu jam yang lalu tanpa henti. Itulah sebabnya kenapa aku mau kembali ke kamar lebih dulu.
Setelah menunggu selama lima menit dan Adri masih belum muncul juga, aku memutuskan untuk menuju ke kamar hotelku sendiri. Alcohol di dalam darahku sepertinya tidak memengaruhi penglihatan ataupun pikiranku, hanya perutku dan aku berhasil masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong tanpa mengalami kendala apa pun. Tetapi ketika aku mencoba untuk menekan tombol lantai di dalam lift, pandanganku tiba-tiba kabur. Kukedipkan mataku berkali-kali dan mencoba membuka lebar kelopak mataku agar bisa melihat dengan lebih jelas, tapi tetap tidak berhasil. Penglihatanku semakin kabur dan aku harus menyandarkan punggung pada salah satu dinding lift karena tiba-tiba aku sepertinya kehilangan keseimbangan yang disusul dengan serangan vertigo yang cukup dahsyat. Saat itu aku baru betul-betul merasakan efek penuh dari alcohol di dalam darahku.
Selanjutnya yang kuingat adalah seseorang yang tidak aku kenal, yang kini aku tahu sebagai Kafka, memapahku berjalan melalui lorong kamar hotel. Aku ingat bahwa aku sempat mencoba menyanyikan lirik lagu Wannabe ketika sedang dipapah dan kudengar suara tawa Kafka. Andaikan bisa memutar balik waktu, aku akan kembali ke enam jam yang lalu dan memilih untuk menunggu hingga Adri kembali untuk mengantarku kembali ke kamar. Terutama ketika mengingat kata-kata yang keluar dari mulutku. “I tell you what, what I really want. So tell me what you want what you really really want,” teriakku dengan cukup kencang.
“Ssshhh, jangan kencang-kencang. Ini sudah malam,” ucap Kafka mencoba memperingatkan aku. Tapi dari nadanya sepertinya dia sedang menahan tawa.
“Ini bukan malam lagi, tapi sudah pagi,” balasku lalu mulai cekikikan.
Kudengar Kafka ikut terkikik mendengar komentarku.
“If you wanna be my lover you gotta get with my friends.”
“Husss,” sekali lagi Kafka mencoba mengingatkanku agar menurunkan suaraku.
Kuulangi baris lagu Spice Girls itu tetapi sambil berbisik, “If you wanna be my lover you gotta get with my friends.” Pada saat itu langkahku terhenti. Kafka pun terpaksa menghentikan langkahnya jika tidak mau terpaksa menggeretku.
“Kenapa?” tanyanya dengan ekspresi agak khawatir ketika melihat wajahku yang mungkin kelihatan superbingung.
“Teman-temanku masih di bae,” ucapku.
“Kamu di sini sama teman-teman kamu?”
Aku mengangguk dengan semangat yang langsung membuatku pusing dan mungkin akan jatuh terjerembab kalau Kafka tidak sedang melingkarkan lengan kanannya pada pinggangku. “Nanti aku bilangin ke teman-teman kamu kalau kamu ada sama aku ya,” kata Kafka sambil mulai menarikku untuk kembali berjalan. “Kamu kenal sama mereka?” “Iya,” jawab Kafka pendek.
“Hahaha… kamu ngaco ngomongnya. Kamu nggak mungkin kenal sama mereka, soalnya mereka nggak pernah ketemu kamu,” ucapku sambil tertawa.
“Kamu nggak usah khawatir soal itu. Aku pasti bisa ngenalin mereka.”
“Oh ya? Gimana bisa?” tanyaku mencoba untuk memfokuskan diri pada percakapan ini.
“Karena pasti gayanya kayak kamu, kan?”
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban itu dan entah bagaimana tetapi aku tidak menemukan adanya kejanggalan dari kata-katanya itu, sehingga aku hanya mengangguk sambil mencoba memerintahkan kedua kakiku agar tetap melangkah.
“Who are you anyway?” tanyaku padanya.
“Kamu nggak kenal aku?” Tanya Kafka dengan nada serius.
Kugelengkan kepalaku.
“I’am Jesus,” ucap Kafka masih dengan wajah serius.
Dan meledaklah tawaku, diikuti tawa terkekeh-kekeh dari Kafka. Aku tidak menyangka bahwa penolongku itu bisa ngelawak juga ternyata.
Kami lalu kembali melangkah menuju entah kemana. Tanpa kusadari aku sudah mulai menyenandungkan lagu Spice Girls yang lain. Kemungkinan besar adalah Spice Up Your Life.
“Kamu suka Spice Girls, ya?” Tanya Kafka ketika mencoba untuk membuka pintu kamar hotelnya sambil menopangkan agar tidak merosot dari pelukannya.
“Siapa coba yang nggak suka Spice Girls? They’re the best,” ucapku. Setidak-tidaknya itulah kata-kata yang aku coba ucapkan, tetapi sepertinya lidahku tidak mau bekerja sama sehingga aku tidak bisa mengucapkan kata-kataku dengan jelas.
“Sudah nggak suka New Kids on the Block lagi?”
“Masih dooo…ng. they’re the best of the best,” balasku. Dan setelah agak lama aku menambahkan. “I love, love, love them,” yang disambut gelak tawa Kafka.
“I suppose they were wicked,” balas Kafka sambil masih tertawa.
Entah kenapa tapi bahasa Inggris yang di gunakan Kafka terdengar agak lain dari yang biasa kudengar, sehingga membuatku tertawa.
Kafka telah berhasil membuka pintu kamar dan memapahku masuk ke dalam.
“Waaahhh… tempat tidur kamu besar,” ucapku dan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Kafka lalu melangkah kearah tempat tidur. Tanpa menunggu undangan aku langsung merangkak naik ke atasnya dan merebahkan tubuh dengan masih mengenakan semua pakaian, termasuk sepatu. Tempat tidur itu nyaman sekali dengan sisa-sisa aroma parfum laki-laki. Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan suara yang cukup keras.
“Bantal. Aku mau bantal,” teriakku dan dua bantal besar muncul di sebelah kiri dan kananku. Aku merasakan seseorang sedang melepaskan sepatuku sebelum kemudian menarik bed cover untuk menyelimuti tubuhku.
“Mmmhhh… thank you,” ucapku.
“You’re welcome,” balas Kafka sebelum kemudian duduk di sampingku dan membelai rambutku. “You’re nice,” gumamku, dan kurasa aku langsung tertidur setelah itu karena aku tidak ingat apa-apa lagi. Tetapi kalau aku langsung tidur pada saat itu juga dengan masih mengenakan semua pakaianku, bagaimana mungkin aku terbangun hanya dengan pakaian dalam? Aku harus pergi menemui Kafka lagi nanti untuk meminta penjelasannya atas kejadian tadi malam. Tiba-tiba tubuhku terasa panas-dingin.
Bagaimana mungkin setelah dua puluh tahun ini aku masih merasa takut untuk bertemu dengan Kafka?





























Bab 2

29 Agustus
Jangan sampai gue ketemu dia lagi. Bagaimanapun caranya terserah, tapi gue harus menghindar. *** 

“Nadia… eh… ditanya kok diam saja sih?” omelan Adri membangunkanku dari lamunan. 
“Eh iya… kenapa, Dri?” tanyaku dan berusaha mengontrol wajahku agar tidak memarah.
Dari cermin, kulihat Adri memutar bola matanya sebelum mengulangi pertanyaannya. “Lo tadi malam ke mana?”
“Gue ketemu sama temen gue, jadi gue tidur di kamar dia tadi malam,” jelasku sambil memercikkan air pada wajahku untuk membersihkan sisa-sisa cleanser. Aku berusaha mengatakan hal yang paling dekat dengan keadaan yang sebenarnya tanpa betul-betul menceritakan kejadian tadi malam. Karena aku sendiri masih belum jelas mengenai hal tersebut.
Dari cermin kulihat Adri sedang menyipitkan matanya curiga. Memang susah kalau punya sobat psikolog. “Teman kerja?” tanyanya.
“Hah?”
“Teman yang ketemu sama elo tadi malam, dia teman kerja?”
“Bukan. Teman SD gue,” jawabku
“Dari Makassar?”
Aku pun mengangguk. Aku memang baru mengenal ketiga sobatku ketika orientasi masuk SMP sebagai anak pindahan dari Ujung Pandang (Pada saat itu Presiden Republik Indonesia masih Soeharto dan Makassar disebut sebagai UjungPandang). Dara dan Adri sudah mengenal satu sama lain semenjak mereka SD kelas satu, sedangkan Jana menjadi orang ketiga yang memasuki lingkarang persahabatan itu ketika dia baru pindah dari sekolah lain sewaktu kelas empat SD. Pada dasarnya ketiga sobatku sudah mengenal satu sama lain cukup lama ketika tiga sekawan itu kemudian menjadi empat sekawan dengan adanya aku.
“Tumben lo nggak bersihin muka dulu sebelum tidur.” Nah lho… bagaimana aku bisa menjelaskan perkara ini kepada Adri? Ketiga sobatku tahu kebiasaanku: karena memiliki kulit paling sensitive, aku jadi orang paling rajin untuk menjaga kesehatan kulit. Aku rela menghabiskan uang banyak untuk perawatan wajah, oleh karena itu aku tidak akan pernah tertangkap basah tidur dengan masih mengenakan make-up.
Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka dan kulihat Dara dengan rambut berantakan melangkah masuk. Aku pun mengembuskan napas lega karena terbebas dari kecurigaan Adri.
“Minggir, gue mau kencing.” Dara berjalan dengan langkah sedikit sempoyongan menuju toilet karena belum sadar betul dari kantuk atau mungkin mabuknya, tetapi Adri menolak menyerahkan singgasananya.
“Lo kencing kan bisa di bidet,” ucap Adri.
Aku mengambil kesempatan ini untuk menghindar sebelum Adri memutuskan untuk membahas status “Missing in action”-ku tadi malam. Kusambar handuk kecil dari batang logam tempatnya disampirkan dan melangkah keluar dari kamar mandi. Samar-samar kudengar suara Dara dan Adri yang masih berdebat urusan penggunaan yang tepat untuk toilet dan bidet. Kulihat Jana masih tertidur dengan mulut agak ternganga. Kunyalakan TV dengan volume rendah agar tidak membangunkannya dan mencoba mencari channel yang menarik perhatianku sambil menyeka sisa-sisa air dari wajahku dengan handuk. Aku terhenti pada channel yang sedang menayangkan film 10 Things I Hate About You. Aku lalu duduk bersila di atas tempat tidur dan meletakkan handuk di sampingku. Entah kenapa, tapi film ini selalu bisa membuatku tertawa setiap kali melihatnya. Aku selalu menginginkan saudara perempuan, tidak peduli itu kakak ataupun adik. Yang jelas aku selalu iri dengan Kat dan Bianca Stratford, yang meskipun selalu berbeda dengan pendapat, tetapi pada akhirnya akan rela melakukan apa saja untuk satu sama lain. Sayangnya permintaanku tidak pernah terkabul, sehingga aku harus puas dengan dua kakak laki-laki yang umurnya cukup jauh denganku sehingga membuat mereka menjadi superprotektif bahkan terkesan posesif terhadapku.
Aku selalu protes kepada papa dan mamaku bahwa aku akan jadi perawan tua selama kedua kakakku membuat ancaman yang sama kepada semua anak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Inti dari ancaman itu adalah bahwa mereka dijamin akan babak belur kalau sampai membuatku sedih, apalagi sampai menangis. Untung kemudian satu per satu dari mereka mulai meninggalkan rumah ketika aku SMA. Kak Mikhel, kakakku yang paling besarlah yang menghilang lebih dulu karena harus kuliah di Bandung. Setahun kemudian, Kak Viktor menyusul untuk kos di Depok. Meskipun mereka berdua selalu meluangkan waktu untuk pulang setidak-tidaknya tiga bulan sekali, tetapi pada dasarnya untuk pertama kalinya selama lima belas tahun hidupku aku benar-benar bebas dari cengkeraman mereka. Anehnya, kurang dari satu bulan kemudian, aku mulai merindukan tatapan-tatapan curiga atau komentarkomentar penuh ancaman yang selalu diutarakan oleh kedua kakakku kepad setiap anak laki-laki yang aku undang ataupun mengundang diri mereka untuk datang ke rumahku.
Entah bagaimana, tetapi dengan popularitasku sebagai murid yang aktif di organisasi semenjak SD hingga kuliah dan sering bertemu dengan banyak laki-laki, aku masih berstatus single di umurku yang sudah 28 ini. Bagaimana mungkin Jana, sobatku yang sama sekali tidak pernah pacaran selama SMP dan SMA kini sudah mau menikah lebih dulu daripada aku? Aku bukannya iri dengan status Jana yang sebentar lagi akan menjadi “Nyonya”, aku hanya bingung. Tentunya selama ini aku sudah menghabiskan waktuku dengan laki-laki yang salah kalau hingga kini aku masih belum juga menikah. Lain dengan Dara yang sering sekali gonta-ganti pacar sampai terkadang aku mengalami masalah untuk mengingat siapakah pacarnya bulan ini, aku adalah tipe perempuan yang selalu memiliki hubungan yang cukup awet dengan laki-laki.
Pacar pertamaku bernama Mario, hubungan itu bertahan selama hampir tiga tahun sehingga aku lulus SMA. Kemudian sewaktu kuliah aku hanya berganti pacar sebanyak dua kali dan ketika aku mulai kerja hingga sekarang, aku hanya ada dia pacar lainnya. Pacar terakhirku, Fendi baru saja menikah sekitar sebulan yang lalu setelah putus dariku tiga bulan sebelumnya. Mungkin inilah pertama kalinya dalam hidupku semenjak aku SMA saat aku tidak sedang memiliki hubungan yang special dengan seseorang laki-laki tertentu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut. Selama ini aku menyangka bahwa aku adalah tipe wanita yang tidak bisa single, oleh karena itu selalu memastikan bahwa aku punya seorang laki-laki yang mendampingiku. Tapi kini, harus kuakui bahwa aku mulai menikmati status baruku sebagai wanita single. Sekarang aku mulai mengerti kenapa Adri tidak pernah terlihat risih sebagai satu-satunya orang di dalam lingkaran persahabatan kami yang sudah dan masih tetap single semenjak dia pulang dari Amerika beberapa bulan yang lalu.

Lamunanku terpotong tiba-tiba oleh suara Dara yang berteriak membangunkan Jana.
“Calon pengantin, tolong bangun, ya. Ini sudah mau jam Sembilan. Jam sarapan sudah mau habis.” Ketika Jana tidak juga bergerak, Dara kemudian mulai menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Kelakuan iseng Dara tidak menggangguku sama sekali. Tetapi bukannya bangun, Jana malah menarik kakinya sehingga tubuhnya meringkuk dan melanjutkan tidurnya.
Karena Jana tidak bereaksi, akhirnya Dara mengalihkan perhatiannya padaku. “Omong-omong lo tadi malam ke mana sih?” tanyanya sambil kemudian duduk bersila di sampingku.
Aku baru saja akan memberikan penjelasan yang sama yang telah kuberikan kepada Adri ketika tiba-tiba sobatku yang satu itu keluar dari kamar mandi dengan mulut penuh busa dan tengah menggenggam sikat gigi berwarna merah. Rupanya dia tengah menggosok gigi dan tidak bisa menunggu satu detik pun untuk mengutarakan pendapatnya. Alhasil aku dan Dara berteriak untuk memintanya kembali ke kamar mandi dan kumur sebelum memutuskan untuk bicara. Kurang dari sepuluh detik kemudian Adri muncul kembali, minus busa odol di mulutnya.
“Gue tadi Cuma mau bilang kalau gue setuju banget kita turun sarapan. Gue laper banget, gila.” Begitu mendengar kata “sarapan”, Dara langsung melupakan pertanyaan yang tadi diutarakannya padaku. Kulihat dia berjalan menuju lemari pakaian untuk menarik jaketnya dari gantungan.
“Terus Jana kita tinggalin sendirian di sini dengan keadaan masih drunk, gitu?” tanyaku panik. “Lo pada gila,” omelku.
“Memangnya lo mau nungguin dia sampai bangun, sambil kelaparan, gitu?” balas Adri yang kini juga sedang melingkarkan syal pada bahunya.
Aku ragu sesaat. Di satu sisi aku tahu bahwa perutku memang sudah minta diisi, tetapi pada sisi lain, aku tidak berani meninggalkan Jana dengan keadaan setengah sadar, sendirian di dalam kamar hotel. Bagaimana kalau dia tiba-tiba bangun dan tidak bisa ingat dia sedang berada di mana? Tetapi aku tahu bahwa alasan utama kenapa aku tidak mau turun sarapan adalah karena aku takut bertemu dengan Kafka lagi.
“Omong-omong perut lo gimana?” Tanya Dara. “Masih mual?” lanjutnya.
Adri langsung membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar jawabanku.
“Nggak, sudah nggak apa-apa. Kayaknya memang gara-gara gue minum martininya kecepetan tadi malam,” jawabku.
Dara pun mengangguk setuju, kulihat Adri sedang mengenakan sandalnya sebelum kemudian mematut dirinya di depan cermin. Setelah puas dengan penampilannya, dia pun menatapku dan berkata, “Yuk.” “Gue belum mandi,” aku pun beralasan. Meskipun aku ingin tahu hal apa saja yang terjadi tadi malam dengan Kafka, bukan berarti bahwa aku siap untuk bertemu dengannya tiga puluh menit setelah aku ‘pada dasarnya’ lari pontang-panting dari hadapannya. Kalau memang aku harus bertemu dengan Kafka lagi, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menunda pertemuan itu hingga detik-detik terakhir. Kalau bisa segala percakapan yang aku akan miliki dengannya dilakukan melalui media telepon atau e-mail. Suatu hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi karena aku tidak tahu nomor telepon ataupun e-mailnya. Aku pun tersenyum pada diriku sendiri yang menyadari betapa cerdiknya rencanaku ini.
“Kita juga belum pada mandi,” bantah Dara sambil bertolak pinggang.
“Iya, tahu. Bau lo pada bisa gue cium dari sini,” ledekku.
Dara hanya memutar bola matanya dengan tidak sabaran. “Ikutan nggak?”
“Breakfast sampai jam berapa ya?” tanyaku sambil melepaskan ikatan rambut dan mencium rambutku yang seperti dugaanku, berbau seperti asbak.
“Setengah sebelas,” jawab Adri yang sudah berjalan menuju pintu karena dia sudah tahu tanpa aku harus mengatakannya bahwa aku tidak akan turun sarapan dengan mereka.
“Lo pada turun duluan deh. Gue kayaknya mau mandi dulu. Rambut gue baunya kayak lantai bar.” Aku pun mematikan TV dan melangkah turun dari tempat tidur untuk kembali menuju kamar mandi. Kulihat Dara hanya mengangkat bahu sebelum kemudian mengikuti Adri keluar dari kamar. Sebelum pintu kamar tertutup aku bisa mendengar Dara membahas tentang makanan apa yang akan dia serang terlebih dahulu dari meja buffet pagi ini. Aku pun tersenyum sendiri mendengarnya. Satu hal yang kusadari semenjak mengenal Dara adalah bahwa dia makannya banyak. Dan, selera dan porsi makannya itu sepertinya tidak pernah memengaruhi bentuk badannya yang selalu tinggi semampai itu. Entah di mana dia menyimpan semua makanan itu.
Kutanggalkan kausku sambil memikirkan pertemuanku dengan Kafka. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa beramah-tamah padanya, orang yang telah membuat masa SD-ku sengsara. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah aku masih terlalu kaget ketika bertemu dengannya lagi sehingga tak mampu memberikan reaksi lain selain menanyakan kabarnya. Lagi pula aku memang dikenal sebagai orang yang ramah, sehingga adalah hal yang wajar jika aku bisa melalui suatu percakapan dengan laki-laki yang paling aku benci sepanjang hidupku tanpa mengeluarkan sumpah-serapah.
Puas dengan penjelasan ini aku pun melangkah masuk ke dalam bathub dan mengatur suhu air agar sesuai dengan keinginanku. Tiba-tiba kudengar telepon kamar hotel berbunyi. Aku tadinya mau membiarkan telepon itu tetap bordering, tetapi aku tidak mau sampai suara itu membangunkan Jana. Mau tidak mau kumatikan air dan melangkah keluar dari bathtub. Tanpa menghiraukan tubuhku yang telanjang aku pun mengangkat gagang telepon yang terletak di samping toilet.
“Halo,” ucapku
“Nadia?” Tanya suara diujung kabel telepon.
“Ya?” jawabku otomatis, meskipun dalam hati aku bingung siapa orang ini.
“Nad, ini Kafka.” Satu-satunya hal yang muncul di kepalaku pada saat itu adalah dari mana dia bisa tahu nomor kamar hotelku?
“Hei,” ucapku. Entah kenapa tapi tiba-tiba detak jantungku jadi sedikit tidak teratur. “Kamu tahu nomor kamarku dari mana?”
Bukannya menjawab, Kafka hanya terkekeh-kekeh. “Kamu nggak turun sarapan?” tanyanya setelah tawanya reda.
“Sudah kok. Ini baru balik,” ucapku. Aku tidak tahu kenapa aku berbohong, tetapi aku takut kalau aku bilang aku belum sarapan nanti dia akan mengajakku sarapan dengannya yang aku yakin akan berakhir dengan “Pertumpahan darah”.
Kafka meledak tertawa, kali ini sepertinya dia benar-benar mendapati jawabanku superlucu yang membuatku mempertanyakan kesehatan mentalnya. Meskipun aku dikenal sebagai orang yang ramah, tetapi orang tidak pernah berpendapat bahwa aku ini lucu.
“Aku cariin kamu tadi di restoran, tapi kok nggak ketemu, ya?” Kafka sepertinya sedang bersusah-payah untuk menahan tawa ketika mengatakan hal ini.
Mampus gue, ketahuan deh bohongnya, ucapku dalam hati. “Iya ya?” tanyaku berpura-pura bingung.
Tentunya Kafka tidak mempercayai kebingunganku sama sekali dan bertanya, “Kamu hari ini rencananya mau ke mana?”
Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah, “Ke mana saja asal nggak ketemu kamu,” tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakan hal ini. “Uhm… belum tahu juga. Tapi kayaknya kami mau ke pantai saja,” jawabku akhirnya, sambil mencoba untuk mengingat-ingat percakapanku dengan ketiga sobatku kemarin siang tentang rencana hari ini, yang pada dasarnya tidak diakhiri dengan satu keputusan tertentu.
Kudengar Kafka mengembuskan napasnya dengan cukup keras sebelum bertanya, “Kamu kapan rencana pulang?”
Pergantian arah percakapan ini membuatku sedikit terkejut karena aku sedang berusaha memikirkan suatu cara untuk membujuk ketiga sobatku agar mau pergi ke pantai lagi setelah selama tiga haru berturut-turut menghabiskan waktu di tempat yang sama. Kebohonganku akan ketahuan kalau ternyata nanti Kafka menemukanku masih berada di hotel siang ini. Pertanyaan Kafka membuatku sedikit tergagap ketika mengatakan, “Be-besok siang.”
Kudengar Kafka tertawa sebelum bertanya, “Ke Jakarta?”
“Iya,” jawabku dengan sedikit curiga. Dari mana dia bisa yakin bahwa aku kini bermukim di Jakarta? Hanya keluarga dan teman dekat saja yang tahu bahwa aku dan keluargaku pindah ke Jakarta setelah aku lulus SD, dan Kafka tidak termasuk di dalam dua kategori itu.
“Kamu naik Garuda?” Tanya Kafka lagi.
“Iya,” jawabku semakin curiga
“Kebetulan. Aku juga.”
“Kamu pulangnya ke Jakarta juga?” tanyaku terkejut
“Iya,” balas Kafka datar
Hal pertama yang terpikir olehku adalah betapa sialnya hidupku saat ini sampai-sampai harus satu pesawat dengan iblis satu itu. Hal kedua adalah kenapa aku bisa sampai tinggal satu kota dengannya. Meskipun Jakarta memang kota besar dan kemungkinan bahwa kami akan pernah bertemu lagi sangat kecil, tetapi aku tetap berharap bahwa Kafka tinggal di kota, pulau, atau bahkan benua yang berbeda denganku. Aku seperti baru saja keluar dari kandang singa dan masuk ke mulut buaya (atau keluar dari mulut buaya dan masuk ke kandang singa? Terserah deh). Kenapa juga sih aku harus bertemu dengannya lagi?
“Nad?” kudengar suara Kafka lagi.
“Eh iya… well, that’s great,” ucapku sambil perlahan-lahan duduk di atas toilet. Tiba-tiba rasa mualku kembali lagi.
“Kamu free nggak untuk makan malam bareng aku nanti malam?”
NGGAK! Teriakku dalam hati. “I don’t know. Aku mesti Tanya sama teman-temanku. Kalau nggak salah mereka mau coba makanan khas Bali.” Dalam usahaku mencoba menghindar, satu-satunya hal yang terpekik olehku adalah bahwa kebanyakan orang tidak tahu makanan Bali itu seperti apa, maka mereka jarang mau mencoba. Memang sudah sifat manusia untuk takut mencoba hal-hal baru di dalam hidup mereka. Aku berharap Kafka termasuk dalam golongan itu.
“Oh ya? Di mana?”
“Be-belum tahu lagi, Kaf.” Pertanyaan Kafka yang terdengar mencecar membuatku semakin tergagap.
“Kamu keberatan kalau misalnya aku ikutan? Aku sudah lama juga nggak makan nasi Bali.”
Kata-kata Kafka langsung membuatku ingin membanting gagang telepon yang sedang kupegang. Bagaimana, oh, bagaimana caranya untuk membuat laki-laki satu ini sadar bahwa aku tidak berniat bertemu dengannya lagi, kenapa permintaannya itu membuat jantungku baru saja melakukan senam kesegaran jasmani?
Rupanya aku sudah terdiam lebih lama daripada yang kuperkirakan karena kudengar Kafka bertanya,
“Nad, kamu masih bisa dengar aku, kan?”
“Kaf…,” ucapku. Aku belum pasti apa yang akan kukatakan. Tetapi aku berusaha mengisi keheningan dengan kata-kata, karena dengan begitu mungkin suatu ide akan tiba-tiba muncul dengan sendirinya.
“Nad, kamu nggak takut kan ketemu aku lagi?”
“Hah? Maksud kamu?” suaraku melengking ketika mengatakan ini.
Kafka malah justru tertawa mendengar balasanku ini. “Aku Cuma mau ngobrol saja sama kamu. Aku janji nggak akan ngapa-ngapain kamu.”
“Terakhir kali kamu janji untuk nggak ngapa-ngapain aku, toh akhirnya kamu bikin aku nangis juga,” sebelum aku bisa mengontrol lidahku, kata-kata itu sudah meluncur.
Kafka terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata itu. “Kapan aku pernah bikin kamu nangis?” “Yang waktu itu, Kaf,” balasku tidak sabaran.
Bagaimana mungkin dia bisa lupa kejadian satu itu? Kejadian yang paling memalukan sepanjang hidupku.
Belum lagi karena semua orang tidak berhenti meledekku tentang itu selama berminggu-minggu.
“Coba kamu ceritain lagi ke aku. Mungkin nanti aku bisa ingat,” bujuk Kafka
Aku sudah pernah jatuh ke dalam perangkap ini sebelumnya. Apa Kafka pikir aku masih senaif ketika aku SD? Dia salah pilih korban.
“Kaf, aku mau mandi. Nanti aku telepon kamu soal dinner, oke?” tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menutup telepon. Dalam hitungan detik telepon itu berbunyi lagi, tetapi aku tidak lagi peduli kalau deringnya yang keras akan membangunkan Jana. Aku pun melangkah masuk ke bathtub dan mulai menyirami tubuhku dengan air hangat.
Breathe… breathe… clear… clear… clear my head… at peace. I am at peace, ucapku dalam hati. Aku belajar menggunakan metode seperti ini untuk menenangkan pikiranku di kelas Self-improvement yang kuambil beberapa bulan yang lalu atas permintaan kantorku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa kelas itu hanya membuang-buang waktuku dan uang perusahaan saja, dan pendapatku masih tidak berubah ketika lima menit kemudian otot-otot tubuhku masih tetap tegang. Aku mengembuskan napas frustasi dan memilih metode yang terbukti lebih efektif untuk menenangkan pikiranku. Aku mulai menyanyikan salah satu lagu New Kids on the Block.
Dari sebegitu banyaknya boy band yang ada di industry music, favoritku selalu NKOTB. Orang lain banyak yang sudah berganti ke Take That, Backstreet Boys, ‘N Sync, 98 degrees, bahkan The Moffats seiring dengan waktu, tetapi aku tetap setia dengan Jordan yang jago main piano, Joey dengan tatapan matanya yang mematikan, Jonathan yang diam-diam tapi seksi, Donny sang bad ass, dan suara berat Danny. Music mereka selalu bisa menggambarkan apa yang ada di hatiku, meskipun dulu ketika bahasa Inggris-ku masih minim, alasan utama kenapa aku menyukai NKOTB adalah karena menurutku kelima anggotanya cute abisss! Tapi setelah aku beranjak dewasa dan betul-betul bisa mengerti arti dari liriklirik lagu mereka, aku jadi paham kenapa orang banyak yang tergila-gila dengan mereka. Siapa coba yang bisa menolak segerombolan cowok super-cute yang bisa menciptakan lagu dan menunjukkan bahwa mereka peduli pada apa yang terjadi dengan anak-anak di seluruh dunia ini? Belum lagi karena videonya penuh dengan potongan-potongan klip anak-anak kecil dari berbagai Negara yang ceria dan penuh tawa.
Gemas jadinya.
Ketiga sobatku selalu menertawakan selera jadulku ini, dan mereka bahkan lebih tertawa lagi ketika datang ke rumahku untuk pertama kali ketika kami masih SMP dan menemukan poster NKOTB berukuran raksasa yang kutempelkan di atas tempat tidurku. Sayangnya aku tidak sempat menonton konser live mereka karena ketika mereka datang ke Jakarta, aku masih SD dan Mama tidak mengizinkanku untuk datang ke Jakarta hanya untuk menjadi histeris karena lima cowok dari Amerika yang menurutnya suaranya seperti anak perempuan itu. Kedua kakakku mencoba menenangkanku yang menangis selama berhari-hari ketika mendengar komentar Mama tentang idolaku dan juga karena tidak bisa menonton konser mereka. Memang kini aku sudah tidak lagi menempelkan poster NKOTB di mana pun di dalam kamarku, tetapi aku masih tetap ngefans sama mereka.
Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan suara pelan aku jadi teringat akan masa-masa SD-ku. Lain dengan Kafka yang sepertinya memang tidak bisa mengingat masa-masa SD-nya yang dihabiskan untuk menyiksaku, aku ingat setiap detik dari satu tahun yang lebih yang aku habiskan dengannya. Aku ingat bahwa dia selalu menyempatkan diri untuk menarik karet yang mengikat rambutku sampai lepas atau menjambak rambutku kalau aku berada dalam jarak lengannya, tergantung mood-nya hari itu. Ketika kami sama-sama mengambil les renang, dia sengaja mendorongku ke dalam kolam renang sebelum aku sempat berganti ke pakaian renangku dan alhasil aku harus pulang dengan mengenakan kaus dan celana panjang kedodoran milik guru renangku karena pakaianku basah semua. Aku bisa menerima semua keisengannya itu hanya sebagai… ya keisengan yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki, tapi kemudian keisengannya itu berubah menjadi ejekan ketika suatu hari dia melihat bros dengan foto NKOTB yang kutempelkan pada tas sekolahku dan mulai mencaci-maki boy band kecintaanku itu dengan mengatakan bahwa mereka suaranya hanya pas-pasan dan kemungkinan besar kalau manggung live pasti lip-sync. Masih belum puas dengan cacian ini, dia menambahkan, “Dan kamu tahu nggak mereka itu semua banci?” aku rasanya sudah mau membunuhnya saat itu juga. Tapi semua ejekan dan keisengan yang dilakukan olehnya tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya siang itu, yang tercatat di dalam buku harianku sebagai salah satu hari paling bersejarah, tetapi juga paling mengenaskan di dalam hidupku








Bab 3

4 September
Oke gue sekarang yakin hidup gue disumpahin sama orang. Kalau gue sampai temuin tuh orang yang nyumpahin gue, bakalan gue mutilasi badannya. Gimana bisa sih orang seramah dan sebaik gue bisa sesial ini Cuma dalam jangka waktu beberapa hari? Serius deh.
*** 

Aku baru saja kalah pemilihan kepala regu Pramuka. Aku sudah jadi Pramuka semenjak kelas tiga SD dengan harapan dalam tiga tahun aku akan bisa jadi kepala regu. Alhasil, aku tidak bisa menerima kekalahan ini dengan baik, terutama karena yang terpilih menjadi kepala regu adalah seorang cewek bernama Ria yang menurutku sangat tidak kompeten. Karena kesal dan kecewa pada diriku sendiri, aku pun pergi ke halaman belakang sekolah untuk menangisi kekalahanku. Kutinggalkan teman-temanku yang lain yang sedang merayakan kemenangan Ria dengan mengatakan bahwa aku mau pergi ke kamar kecil. Halaman belakang biasanya memang selalu kosong kalau siang karena anak-anak lebih suka main di halaman depan yang banyak rumputnya dan rindang karena banyak pepohonan.
Aku baru saja mulai menangis sambil menyandarkan tubuh pada dinding belakang salah satu kelas. Kutenggelamkan wajahku di antara telapak tanganku. Tiba-tiba kudengar langkah kaki dan ketika kuangkat wajahku, kekesalanku semakin menjadi dengan kemunculan mimpi burukku.
“Nad-nad, kamu kenapa nangis?” Tanya Kafka sambil nyengir.
“Nggak ada apa-apa,” ucapku sambil mengusap wajahku yang basah dengan air mata. “Kamu pergi sana.
Jangan ganggu aku,” lanjutku sambil berjalan kembali menuju halaman depan.
“Kamu mau cerita ke aku? Aku mungkin bisa bantu.” Kata-kata Kafka yang untuk pertama kalinya terdengar tulus membuatku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya.
“Kalau aku cerita ke kamu nanti kamu malah ngetawain aku.” “Aku nggak akan ngetawain kamu,” Kafka mencoba meyakinkanku.
“Nanti kamu cerita ke Gempur sama Kris dan mereka bakalan ngetawain aku,” aku masih terdengar tidak yakin.
“Aku nggak akan cerita ke mereka kalau kamu nggak mau aku cerita ke mereka.”
“Nanti kamu…”
“Aku janji untuk nggak ngapa-ngapain kamu. Suwerrr…,” Kafka memotongku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Sekali lagi aku ragu, tetapi melihat wajah Kafka yang terlihat benar-benar ingin membantu, aku pun luluh dan sambil duduk di atas bangku kayu panjang yang memang tersedia di sekitar situ, kutumpahkan semua masalahku pada Kafka. Aku sempat terkejut ketika Kafka memang mendengarkan masalahku dengan saksama dan tidak menertawakanku. Pada saat itu aku menyadari bahwa di bawah semua pesona anak laki-laki isengnya, Kafka ternyata juga bisa serius dan pengertian. Kemudian kudengar bunyi bel, yang menandakan bahwa waktu istirahat sudah selesai dan kami harus kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran hari itu.
“Makasih ya, Kaf,” ucapku sambil berdiri dan mencoba merapikan rokku. Aku masih tidak percaya bahwa aku sudah menceritakan masalahku pada Kafka, sehingga merasa agak malu dan risi untuk menatapnya.
“Jangan nangis lagi, ya.”
Mendengar nada Kafka yang terdengar lembut kuangkat tatapanku dari rokku ke wajahnya. Dan pada detik itu, aku menyadari bahwa aku dan Kafka mungkin bisa berteman, kalau saja dia menghentikan keisengannya pada diriku. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian mencium pipiku, bersamaan dengan terdengarnya bunyi bel kedua.
Aku hanya terdiam ketika bibirnya menyentuh kulit wajahku karena terlalu terkejut untuk bereaksi. Seumur hidupku, aku tidak pernah dicium oleh anak laki-laki mana pun, sehingga aku betul-betul tidak tahu reaksi apa yang harus kuberikan.
“Cieee… Kafka sama Nadia…” terkejut aku langsung menolehkan kepalaku dan melihat Gempur dan Kris sedang berdiri tidak jauh dari kami dengan senyuman lebar mereka.
Pipiku rasanya seperti terbakar. Bukan hanya karena bekas ciuman Kafka, tetapi juga karena malu. Aku tahu bahwa berita tentang Kafka menciumku akan tersebar ke seluruh sekolah sebelum akhir jam sekolah hari ini. Tanpa berpikir panjang lagi aku pun langsung berlari menuju kelas. Kudengar Kafka memanggil-manggil namaku, tetapi aku tetap berlari.
Seperti dugaanku, pada akhir jam sekolah setiap anak tidak henti-hentinya meledekku. Kalau saja ledekan mereka berdasarkan fakta, mungkin aku tidak akan merasa terlalu sedih, tetapi kenyataannya adalah bahwa hanya dalam selang waktu beberapa jam, fakta sudah berubah 180 derajat. Kini berita yang tersebar mengatakan bahwa akulah yang memaksa Kafka untuk menciumku. Saking kesalnya, aku langsung berlari menuju kelasnya begitu jam akhir sekolah berbunyi.
Kutemukan Kafka sedang berjalan keluar dari kelas sambil ngobrol dengan Gempur dan Kris yang langsung memberi tanda padanya bahwa aku datang menemuinya dengan wajah siap perang.
Aku baru menghentikan langkahku ketika ujung sepatuku hampir saja menyentuh ujung sepatu Kafka.
“Kamu ngomong apa sih ke semua orang?” desisku.
Kafka menatapku dan berkata tanpa merasa bersalah, “Apa adanyalah.”
“Apa adanya? Kalau apa adanya, kamu harusnya bilang ke mereka kamu yang tiba-tiba cium aku, bukan aku yang maksa kamu untuk cium aku.”
“Tapi memang kamu maksa Kafka kan, Nad? Ngaku saja kenapa sih? Nggak usah malu gitu, lagi,” komentar Gempur.
Mendengar komentar itu kutatap Gempur dengan tajam dan dia langsung terdiam dengan ekspresi sedikit terkejut karena sepanjang sepengetahuan anak-anak dan guru-guru di sekolahku, aku memang tidak pernah marah. Maka, aku pasti punya alasan yang tepat kalau sampai semarah ini. “Kaf, Nadia kan yang maksa lo untuk cium dia?” tatapan Kris beralih dari wajahku ke wajah Kafka, kemudian beralih lagi padaku.
Tatapanku kualihkan dari Gempur kepada Kafka dan menantangnya untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
“Yo’i, man. Nadia yang maksa gue,” ucap Kafka santai.
Gempur dan Kris terlihat puas dengan jawaban ini dan kini sedang menatapku dengan penuh kemenangan. Mulutku langsung terbuka ketika mendengar kata-kata ini. “Kafka… kamu… kamu…” aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk memaki-makinya. Itu mungkin karena aku tidak pernah perlu memaki-maki siapa pun di dalam hidupku. Sekali lagi kutatap Kafka, menunggu hingga dia memberanikan diri untuk mengakui kebohongannya, tetapi aku tetap tidak menerima reaksi apa-apa darinya. Kecewa, aku pun memberanikan tatapan paling sangar yang pernah kuberikan kepada siapa pun dan meninggalkannya.
Begitu sampai di rumah aku langsung mengunci diri di dalam kamarku dan menangis sepuasnya. Tingakh lakunya yang bertolak belakang hanya dalam beberapa jam membuatku bertanya-tanya. Untuk apa dia bertingkah laku baik selama beberapa menit, bahkan meredakan tangisku kalau akhirnya akan mempermalukan juga? Dan entah bagaimana, tetapi satu-satunya kesimpulan yang bisa aku tarik dari kejadian ini adalah bahwa aku sama sekali tidak menarik sebagai seorang anak perempuan, sampaisampai anak laki-laki bandel seperti Kafka saja malu untuk mengakui bahwa dia telah menciumku. Kenyataan ini bukannya meredakan tangisku, tetapi membuatku menangis semakin tersedu-sedu. Betekad untuk menunjukkan bahwa pengkhianatan Kafka tidak memengaruhiku sama sekali, aku muncul di sekolah keesokan harinya dengan kepala tegak dan senyuman ramah. Melihatku seperti ini sepertinya membuat Kafka dongkol dan dia mencoba berbagai macam cara lagi untuk membuatku menangis, tetapi aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak lagi memedulikan semua ledekan dan ejekan yang datang dari Kafka dan kedua temannya. Isu mengenai aku memaksa Kafka untuk menciumku pun lambat laun reda dan pada saat aku lulus SD, isu itu sudah hilang sama sekali. Meskipun aku masih bisa merasakan bekasnya hingga hari ini. Aku selalu mengharapkan Kafka mau mengakui kebohongan besarnya itu dan meminta maaf padaku, tetapi kedua hal itu tidak pernah terjadi. Ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan otot-otot yang lebih relaks berkat NKOTB, kulihat Jana sudah bangun dan sedang berdiri di depan lemari pakaian sambil mengeluarkan bajunya. “Bangun juga lo akhirnya. Gue sangkain lo bakalan tidur seharian,” ucapku sambil menunduk agar bisa mengeringkan rambutku dengan handuk.
“Tadinya sih memang masih mau tidur. Tapi tadi ada telepon, jadi gue terpaksa bangun,” balas Jana sambil menggenggam sepasang pakaian dalam di tangannya. “Omong-omong aneh benget deh. Tuh cowok bilang dia temen lo dan mau bikin janji untuk dinner nanti malam. Gue nggak tahu lo ada temen di Bali, Nad,” lanjut Jana.
“Dia Cuma orang yang gue kenal waktu SD. Tolongin gue deh. Kalau nanti dia sampai telepon lagi, bilang kita sibuk. Gue nggak mau ketemu sama dia lagi, kalau bisa.” Ucapku sambil kembali melangkah masuk ke kamar mandi.
“Lho kok gitu?” Jana terlihat bingung.
“Panjang deh ceritanya. Nggak usah diambil pusing.” Kemudian kunyalakan pengering rambut untuk menenggelamkan segala kemungkinan Jana menginterogasiku. ***
Selama ini aku selalu merasa bahwa bunuh diri adalah hal paling tidak masuk akal yang akan dilakukan oleh manusia. Apakah hidup ini sebegitu buruknya sehingga mereka mau meninggalkannya buru-buru? Atau apakah memang tidak ada jalan lain sama sekali sehingga mereka mengambil keputusan ini? Tapi kini aku betul-betul paham bahwa kadang kala keadaan di dunia ini memang sangat buruk dan kita tidak memiliki pilihan lain selain untuk meninggalkannya selama-lamanya.
Sewaktu di Bali, aku memang berhasil menghindari Kafka dengan bantuan ketiga sobatku yang pada dasarnya memblokir saluran telepon, Kafka tidak berkesempatan untuk berbicara denganku. Aku bahkan berhasil menghindarinya di bandara dengan waktu check-in yang mepet dan berpura-pura tidur di dalam pesawat. Ketika sampai di Soekarno-Hatta, aku dan sobat-sobatku langsung menghilang secepat mungkin setelah mengambil bagasi, sehingga Kafka hanya sempat melambaikan tangan sebelum aku kemudian menghilang dari pandangannya untuk selama-lamanya. Aku sangat bersyukur kepada ketiga sobatku yang mau bekerja sama menghindari Kafka, meskipun mereka tidak habishabisnya menginformasikan kepadaku bahwa Kafka itu “A hot piece of ass”, kata Adri. “Ha-Oo-Te banget”, menurut Dara, dan “Cute juga”, menurut Jana. Mungkin itulah fungsinya sobat, mereka akan membela dan melindungi kita meskipun mereka tidak tahu duduk permasalahannya dan membuatku ingin menyumbat mulut mereka dengan gumpalan kertas pada saat yang bersamaan. *** 

Sepulangnya dari Bali pada hari Minggu itu, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku dulu daripada langsung pulang ke kos. Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu dengan mereka, aku jadi merasa agak bersalah karena telah menelantarkan mereka.
Aku baru saja melangkah turun dari mobilku ketika Mama menghujaniku dengan permintaan agar aku membujuk Papa supaya mau dibawa ke rumah sakit. Keluarga Papaku memang memiliki keturunan penyakit jantung dan darah tinggi, jadi mamaku sedikit khawatir Papa mengidap penyakit yang sama. Sudah beberapa bulan belakangan ini Papa mengeluh karena dadanya sakit, terutama pagi hari setelah bangun tidur. Tapi Papa, yang juga memiliki keturunan sifat bandel kalau sudah urusan kesehatan, selalu menunda atau menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Hingga hari ini, tiga bulan semenjak keluhan pertama yang semakin menjadi sehingga membuat Mama super khawatir, Papa belum juga mau meluangkan waktu untuk pergi ke dokter.
Papaku yang berumur 65 tahun itu sudah pension beberapa tahun yang lalu dari posisinya sebagai Chief Financial Officer salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Aku selalu berpendapat mungkin Papa merasa sedikit stress setelah pension. Aku tidak heran dengan fenomena ini, ada beberapa orangtua teman-temanku yang mengalami masalah yang sama. Mereka mungkin merasa tersingkir dan tidak lagi dibutuhkan. Aku selalu meminta papaku agar menekuni suatu hobi untuk mengisi hari-harinya. Papaku sebetulnya pemain tenis yang cukup andal, tetapi mamaku tidak lagi memperbolehkannya menyentuh raket tenis setelah dua teman mamaku meninggal karena serangan jantung ketika sedang main tenis. Aku mengusulkan agar papaku memilih olahraga baru yang sesuai dengan kondisi kesehatannya, misalnya golf. Tetapi ketika kusarankan ini, Papa langsung berkata bahwa golf tidak bisa digolongkan sebagai olahraga karena orang-orang yang main golf hanyalah orang-orang yang terlalu buncit perutnya dan terlalu malas untuk betul-betul berolahraga. Sekarang aku tidak pernah bisa melihat orang main golf tanpa memperhatikan perut mereka, yang akhirnya selalu membuatku tertawa terkekeh-kekeh. “Nadia, kamu bujuk papa kamu itu supaya mau pergi ke dokter. Viktor sudah carikan informasi tentang itu dan ada banyak dokter ahli jantung bagus yang praktik di Jakarta,” ucap mamaku. Tidak peduli berapa lama mamaku sudah tinggal di Jakarta, tetapi nada bicara Makassar-nya tidak pernah hilang. “Lho, memangnya nggak jadi pergi ke dokter yang disaranin sama internisnya Papa?” tanyaku sambil mengeluarkan sekotak jus jambu dari lemari es dan menuangkannya ke gelas.
“Viktor bilang ada yang lebih bagus lagi. Mama sudah dikasih informasinya. Yang ini kalau nggak salah lulusan Inggris. Nanti Mama kasih ke kamu datanya sebelum kamu pulang.”
Aku hanya mengangkat bahu karena aku tidak tahu menahu tentang nama-nama universitas di Inggris kecuali Oxford. Entah dari mana Kak Viktor dapat informasi ini. Aku hanya berharap bahwa dokter ini memang benar-benar bagus karena aku tidak mau mengambil resiko soal urusan kesehatan keluargaku. Kumasukkan kembali kotak jus ke dalam lemari es dan membawa gelasku ke teras belakang. Disana kutemui papaku sedang membaca Koran. Untungnya papaku bukan perokok sehingga setidak-tidaknya meskipun ada keturunan, papaku lebih memiliki kemungkinan bebas untuk dibedah jantungnya.
“Pah, minggu depan mau ya aku bawa ke dokter,” ucapku sambil mencium keningnya.
Papaku mengeluarkan suara khasnya, yang terdengar sedikit seperti dengkuran dan batuk. “Gimana Bali?” tanyanya.
“Panas,” jawabku.
“Jana sudah mantap sama rencana nikahnya itu?” Tanya Papaku sambil melipat Koran yang tadi dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Aku tahu papaku sedang mencoba menghindari pertanyaanku.
“Siap nggak siap deh, Pa, tapi sudah waktunya memang. Sudah terlalu lama tertunda.” Papa mengangguk-angguk. Keluargaku tahu betul tentang bagaimana ketiga sahabat itu. Papaku kemudian terdiam, sepertinya dia sudah kehabisan topic berbasa-basi denganku. Mamaku selalu bilang bahwa aku adalah anak kesayangan Papa, sehingga dia akan melakukan apa saja yang aku minta. Aku yakin satu-satunya alasan kenapa aku jadi anak kesayangan Papa adalah karena akulah anak perempuan satu-satunya.
Kucoba sekali lagi membujuk Papa. “Minggu depan cek jantung ya, Pa,” pintaku sambil menggenggam tangannya.
Papa siap untuk protes, tetapi aku potong, “Ini Cuma untuk cek saja, supaya kita bisa tahu kalau memang ada apa-apa. Aku yakin jantung Papa masih sehat dan nggak ada yang perlu di khawatirkan, tapi Mama, Kak Viktor, dan Kak Mikhel khawatir, Pa. dan kalau mereka khawatir, aku juga jadi ikut khawatir. Nah… supaya kita semua nggak khawatir dan Mama nggak akan ganggu Papa lagi soal ini, kita pergi cek, ya?”
Papaku mengembuskan napasnya dan garis-garis keras kepala muncul pada keningnya, tapi kemudian dia mengangguk dan berkata sambil menggerutu, “Tapi harus kamu yang bawa Papa ke dokter, ya. Papa nggak mau pergi sama Kak Viktor, dia itu betul-betul nggak ada belas kasihannya sama orang. Sudah tahu orang lagi sakit, bukannya disayang-sayang malah habis diomeli sama dia.”
Aku mencoba menahan tawaku. Aku sudah mendengar tentang pertengkaran Papa dan Kak Viktor dari mulut kakak keduaku itu beberapa hari sebelum aku berangkat ke Bali. “Kak Viktor bukannya ngomel, Pa. dia Cuma khawatir. Habis papa juga sih bandel. Sudah tahu sakit, tetap saja ngotot nggak mau ke rumah sakit. Papa tahu sendiri Kak Viktor orangnya nggak sabaran. Ya jelaslah dia ngomel,” kataku mencoba menenangkan Papa.
“Kamu memangnya bisa ambil cuti lagi? Bukannya kamu baru ambil cuti untuk pergi ke Bali? Papa nggak mau kamu kena masalah sama bos kamu gara-gara mesti nganter Papa ke rumah sakit lho.” “Nggak masalah kok,” balasku. Pada dasarnya dengan statusku sebagai seorang senior web designer, aku hanya perlu berada di kantor kalau memang ada perlu saja. Untungnya bosku cukup fleksibel dan tidak bawel. Selama pekerjaanku yang seabrek itu selesai tepat waktu, dia tidak pernah mempermasalahkan di mana aku mengerjakannya. Harus kuakui bahwa kreativitasku lebih mudah mengalir kalau aku sedang duduk di depan laptopku di kamar kos daripada di kantor yang kadang suka terlalu berisik. Meskipun aku sudah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan itu dan membawa masuk keuntungan yang cukup besar untuk perusahaan, tetapi aku belum juga diberi ruangan pribadi. “Cuma kamu memang yang peduli sama Papa. Jangan Tanya soal Viktor atau Mikhel. Mereka terlalu sibuk untuk peduli kalau Papa sakit.”
Aku hanya tersenyum dan mencoba menenangkan Papa yang kebiasaan ngambeknya semakin hari semakin menjadi. “Pa, Kak Viktor lho yang sudah cari info tentang dokter yang bagus untuk cek jantung dan Kak Mikhel kan sudah berkali-kali nawarin untuk nganter Papa cek jantung, tapi Papa selalu nolak.
Jadi bukan salah dia dong kalau akhirnya dia nggak nawarin lagi?”
“Eh… eh… jangan salahin Papa, ya. Kalau sampai Mikhel yang antar Papa untuk cek jantung, bisa-bisa Papa meninggal di jalan karena kena serangan jantung. Cara dia bawa mobil itu lho. Kayaknya sopur metromini saja kalah ganas sama dia,” omel Papa.
Aku mencoba menahan tawa, tetapi tidak berhasil. Kakakku yang satu itu memang selalu bercita-cita menjadi pembalap semenjak keci, tetapi cita-cita tersebut tidak pernah kesampaian. Parahnya lagi, setelah film The Fast and the Furious keluar di pasaran, dia jadi suka menggunakan jalan tol sebagai arena balapnya. Kak Mikhel juga pernah bilang dia cukup mirip dengan Vin Diesel, actor utama di film favoritnya itu. Aku selalu berkata hanya ada tiga kemungkinan bagi orang lain untuk sependapat dengannya. Pertama, mungkin orang itu sedang picek atau berhalusinasi, atau dua-duanya. Kedua, Kak Mikhel bisa dibilang cukup mirip Vin Diesel kalau mampu membuat perut buncitnya itu menjadi rata dan six-packs dengan pergi ke gym setiap hari supaya tubuhnya bisa jadi sekekar actor itu yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi karena Kak Mikhel tidak bisa hidup tanpa makanan yang berminyak-minyak. Dan ketiga, meskipun Kak Mikhel telah melakukan semua hal yang kusebutkan sebelumnya, dia mungkin baru akan kelihatan sedikit mirip Vin Diesel kalau dilihat dari atas Monas… dengan sedotan. Aku dan Kak Viktor selalu tertawa terbahak-bahak kalau sampai topic perbincangan ini keluar dan alhasil membuat Kak Mikhel jadi ngambek dan cemberut sepanjang hari.
“Kenapa juga kamu senyum-senyum begitu? Kamu juga nggak pernah mau diajak pergi sama Mikhel kalau dia yang nyetir.”
Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah laku Papa yang sudah seperti anak umur lima tahun.
***
Hari kamis pagi aku dan orangtuaku duduk di ruang tunggu rumah sakit bagian Kardiologi. Entah kenapa, tapi beberapa hari belakangan ini aku merasa sedikit waswas, tapi berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan itu. Aku beralasan mungkin aku agak khawatir saja dengan keadaan papaku.
Kak Viktor sudah membuatkan janji untuk jam sepuluh pagi itu dengan Dokter Kafka. Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan wajah ketika tahu nama dokter ini. Kenapa juga kok ada orang lain lagi di dunia ini yang namanya Kafka, bukannya satu saja sudah cukup? Aku diminta mamaku untuk mengisi formulir yang diberikan suster, yang pada dasarnya menanyakan tentang kondisi kesehatan Papa beberapa bulan belakangan ini. Mama dengan bantuan Papa sekali-sekali, membantuku memastikan agar tidak ada informasi yang tertinggal. Seorang suster lalu meminta Papa masuk ke suatu ruangan lain untuk mengukur tekanan darah dan berat badan sebelum kemudian mencatatnya pada formulir yang baru saja selesai kuisi. Kami lalu diminta menunggu lagi sebelum kemudian dipersilahkan masuk menemui dokter.
Mamaku yang berjalan paling depan berkesempatan bertemu muka dengan Pak Dokter lebih dulu dibandingkan aku dan Papa. “Selamat pagi, Dok,” sapa Mama dengan ceria. Untuk orang yang belum mengenal mamaku, mereka mungkin akan menyangka bahwa Dokter Kafka adalah teman lamanya, tetapi bagi orang yang sudah mengenalnya, mereka akan tahu bahwa memang begitulah mamaku menyapa setiap orang. Mama adalah orang yang paling ramah yang kukenal. Kurasa aku mendapatkan sifat ramahku darinya.
“Selamat pagi.” Kudengar balasan dari sang dokter yang terdengar jauh lebih muda daripada yang kuperkirakan. Aku selalu menyangka seorang ahli kardiologi setidak-tidaknya sudah berumur diatas empat puluh tahu, berkacamata, dan berkepala botak. Suster yang tadi mempersilahkan kami masuk sudah menghilang. Aku memastikan agar pintu ruang dokter itu tertutup rapat sebelum mengalihkan perhatianku kepada orangtuaku lagi. Dan… aku merasa mendapat serangan jantung.





















Bab 4

12 September
Dunia ini memang nggak adil. Hahaha… who am I kidding. Kalau dunia ini adil, itu namanya bukan dunia, tapi surga. Apa jangan-jangan ada tuyul yang ikut sama gue dari Bali dan bikin gue jadi sial ya? *** 

“NADIA?” ucap Kafka yang berdiri di belakang meja kerja dokter dari kayu jati. Dari wajahnya, sepertinya dia sama terkejutnya denganku, bahkan mungkin lebih terkejut lagi.
Aku hanya bisa menatap Kafka sambil melongo seperti orang idiot. Kucoba mengedipkan mataku berkali-kali, berharap dan berdoa agar ini semua hanyalah mimpi buruk. Tetapi setelah mengedip berkali-kali dan wajah Kafka malah justru kelihatan semakin jelas, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Ini semua kenyataan.
“Kamu…?” akhirnya aku bisa berkata-kata. Mamaku langsung mengerlingkan mata padaku mendengar nada bicaraku yang memang kurang sopan.
“Kamu ngapain di sini?” ucapku dan Kafka bersamaan.
“Aku ngantar papaku,” jawabku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Kafka, meskipun aku juga baru saja mengutarakan pertanyaan yang sama padanya. Tapi aku merasa pertanyaan itu memang lebih masuk akal untuk diutarakan olehku, karena jelas-jelas aku sekarang sedang berada di ruang dokter. Kalau aku mau mincing ikan aku akan pergi ke laut, bukan ke dokter, kan?
“Nadia, kamu kenal sama Pak Dokter?” kudengar suara mamaku.
Papaku yang sepertinya terlalu lelah untuk mengikuti arah pembicaraan ini memilih duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja kerja dokter sambil menyipitkan mata pada Kafka. 
“Dokter?” ucapku bingung. Dan pada saat itu aku baru betul-betul menyadari Kafka memang mengenakan jaket putih yang biasanya dikenakan para dokter.
NGGAK MUNGKIN! Teriakku dalam hati. Kafka nggak mungkin dokternya papa. Dia masih terlalu muda untuk jadi ahli kardiologi. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Kafka pernah jadi juara kelas sewaktu kami SD dan aku yakin aku tidak pernah melihatnya ikut ujian beasiswa sekolah yang biasanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berhasil meraih ranking tiga besar di kelas masing-masing.
“Kamu Dokter Kafka?” tanyaku curiga.
Kafka hanya menunjuk kepada plak ukiran kayu di atas meja kerjanya yang bertuliskan Dr. Kafka Ananta. Ternyata memang hanya ada satu Kafka di dunia ini, dan ini menjelaskan perasaan tidak enak yang sudah kurasakan beberapa hari ini. Ohhh… rasanya aku mau bunuh diri saja atau mungkin meminta orang lain membunuhku. Sel-sel otakku sepertinya mengalami korsleting dengan banyaknya pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada Kafka tetapi tidak bisa kuucapkan di depan orangtuaku.
“Silahkan duduk, Ibu,” ucap Kafka sopan. Mamaku menuruti permintaan Kafka dan duduk di satusatunya kursi yang masih tersedia. Dari tatapan matanya aku tahu bahwa mamaku sebetulnya ingin menginterogasi statusku dengan Kafka, tetapi untungnya kali ini dia berhasil menahan diri dan hanya tersenyum penuh arti padaku.
Aku masih berusaha mencerna semua informasi ini ketika terdengar ketukan pintu dan seorang suster masuk sambil mendorong sebuah kursi untukku. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku pun mengempaskan diriku di kursi itu. Perasaan galauku tidak membaik ketika aku menyadari bahwa Kafka sedang melemparkan senyum isengnya padaku. Aku tidak perlu jadi psychic untuk tahu apa yang sedang ada di pikirannya. Kuberikan tatapanku yang paling ganas padanya dan Kafka mengalihkan perhatian pada formulir yang tadi sudah kuisi. Ruangan itu hening beberapa detik.
“Apa Bapak ada keturunan darah tinggi sama jantung?” Tanya Kafka sambil menatap papaku dengan serius. Aku harus menarik napas ketika melihat pergantian ini. Hanya dalam hitungan detik dia berubah dari laki-laki iseng yang kutemui ketika terbangun di kamar hotelnya beberapa hari yang lalu menjadi seorang laki-laki dewasa yang betul-betul serius dalam pekerjaannya. Yang jelas detik itu dia kelihatan seperti seorang dokter.
“Iya, Dok, beberapa anggota keluarga si Oom ini memang punya darah tinggi dan jantung,” jelas mamaku.
“Sakit di dada yang Oom alami selama ini apa seperti di tusuk-tusuk jarum atau seperti ketindihan batu dan nggak bisa napas?”
Aku hampir saja mendengus ketika mendengar Kafka menggunakan kata “Oom” untuk papaku. Dengan susah payah aku mencoba mengendalikan perasaanku yang sepertinya siap untuk meledak-ledak. Jelasjelas mamaku yang duluan menggunakan kata itu, Kafka hanya mencoba menjadi pendengar yang baik dengan menggunakan kata yang sama, ucapku pada diriku sendiri, mencoba merasionalkan tindakan Kafka.
“Kadang dua-duanya, Dok,” papaku menjawab. Kulihat Kafka menuliskan sesuatu pada selembar kertas lain.
“Kalau rasa sakit itu terjadi, biasanya berapa lama?” “Terkadang bisa sampai semenit,” jelas papaku.
Kafka mengangguk dan sekali lagi menuliskan sesuatu pada kertas itu. Mamaku terlihat khawatir dan takut ketika mendengar penjelasan papaku ini. Khawatir bahwa mamaku akan tiba-tiba menangis, kutarik kursiku agar bisa duduk lebih dekat dengannya dan meremas bahunya. Mamaku menoleh padaku dan meremas tanganku.
“Dan semua ini biasanya terjadi pada pagi hari, ya?” Kafka terlihat sangat serius ketika menanyakan hal ini, yang membuatku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang signifikan tentang informasi itu.
Kulihat kedua orangtuaku mengangguk untuk mengonfirmasikan pernyataan itu.
“Jadi bagaimana, Dok?” Tanya mamaku
Kafka menatap mamaku dan berkata, “Kalau dilihat dari gejalanya, sepertinya Oom memang mengalami beberapa serangan jantung.”
“Beberapa?” teriakku dan Mama bersamaaan.
“Dalam caliber kecil,” sambung Kafka buru-buru dalam usahanya untuk menenangkan kami berdua. Dia bahkan tersenyum. Papaku tidak mengatakan apa-apa, aku jadi curiga apa dia sudah tahu bahwa apa yang dia alami selama tiga bulan belakangan ini bisa dibilang cukup serius.
“Jadi saran.. ehm… ehm… Dokter… bagaimana?” dengan susah payah aku mengucapkan kata “Dokter”. Aku masih belum terbiasa dengan status Kafka, si pembuat onar itu sebagai seorang dokter yang harus kupercayai.
Kafka menatapku dan berkata dengan pelan tapi pasti. “Saya sarankan supaya Oom menjalani beberapa tes. Kita bisa mulai dengan tes darah untuk melihat beberapa hal, tapi terutama kadar kolesterol dalam darah. Kalau nanti memang perlu, baru kita lakukan EKG dan Cardiac Stress Testing.”
“EKG,” gumamku. Latar belakangku memang bukan dari dunia kedokteran, tapi aku sudah menonton cukup banyak seri ER dan Grey’s Anatomy untuk tahu fungsi tes tersebut.
“Electrocardiography,” sambung Kafka. “Untuk memonitor aktivitas jantung supaya kita bisa melihat apakah ada kelainan pada detak jantung Oom.”
“Apa pasien harus menginap untuk dites?” Tanya mamaku dengan hati-hati.
Aku menarik napas menunggu jawaban dari Kafka. Aku tahu betul bahwa kalau jawabannya adalah “Iya”, sudah dapat kupastikan bahwa papaku tidak akan mau melakukannya. Papaku adalah jenis orang yang sama sekali tidak suka tidur di tempat tidur yang bukan tempat tidurnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa papaku jarang sekali mau diajak travel kalau kami harus menginap.
“Oh, nggak. Pasien bisa langsung pulang. Hanya mungkin datang untuk beberapa jam saja.” Entah kenapa, tapi sepertinya ketika Kafka mengucapkan ini dia menatapku dan tersenyum simpul. Mungkin dia bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu ketika kami menunggu jawaban darinya, dan mencoba menenangkan kami semua.
“Apa tes darahnya harus di sini atau boleh di tempat lain?” tanyaku. Berdasarkan cerita yang sudah kudengar, banyak dokter dan rumah sakit yang lebih mengutamakan factor materi daripada kesehatan pasiennya. Banyak dari mereka yang bahkan akan memaksa agar segala macam tes harus dilakukan di rumah sakit karena jasa tersebut tidak ditawarkan di tempat lain. Menurutku semua itu omong-kosong saja.
“Dimana saja boleh selama mereka bisa melakukan tes yang diminta. Cari saja lab yang dekat sama rumah Oom dan Tante, tidak perlu datang ke sini,” ucap Kafka.
Humph… sepertinya Kafka memang seorang dokter sejati, bukan pedagang obat yang bersembunyi di belakang jaket putih dan menyebut diri mereka dokter. Meskipun rumah sakit ini bukanlah yang terdekat dari rumahku, tapi inilah yang menurutku paling kompeten, jadi pada dasarnya pilihan kami untuk datang ke rumah sakit ini tidak bisa dibantah lagi.
“Apa Oom sudah ada dokter penyakit dalam?”
Mamaku mengiyakan pertanyaan ini dan memberitahu Kafka nama dokter penyakit dalam papa. Mama kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kafka yang dijawabnya dengan singkat dan padat. Kuperhatikan bahwa sepertinya Kafka memang cukup ahli di bidangnya karena dia mencoba menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kami semua. Dua puluh menit kemudian kami pun keluar dari ruang dokter itu dengan perasaan lebih pasti tentang langkah selanjutnya yang harus kami ambil.
Dalam perjalanan pulang Mama dan Papa sama sekali tidak menanyakan tentang hubunganku dengan Kafka. Pikiran mereka sepertinya penuh dengan keadaan kesehatan Papa yang memang jauh lebih penting. Meskipun begitu, aku baru bisa betul-betul bernapas lagi setelah keluar dari halaman rumah orangtuaku dan mobilku sudah meluncur kembali ke jalan raya menuju kantor. ***




Selama beberapa hari aku tenggelam dalam pekerjaanku dan terbebas dari keharusan untuk bertemu dengan Kafka lagi karena aku, Kak Mikhel dan Kak Viktor sepakat untuk merotasi tugas membawa Papa ke rumah sakit. Tetapi sepertinya aku tidak bisa lari dari Kafka, karena kini Mama semakin sering menyebutkan nama “Dokter Kafka” dengan nada antusias dan penuh pujian. Padahal aku sudah siap muntah setiap kali mendengar nama itu disebut-sebut.
“Nadia, kamu ditanyain sama Dokter Kafka kemarin,” ucap Mamaku suatu hari ketika aku meneleponnya untuk menanyakan perkembangan keadaan Papa.
Saking terkejutnya aku sampai menyobek bungkus Oreo dengan terlalu ganas, membuat semua Oreo berhamburan ke atas meja kerjaku di kantor. Gita, seorang web designer yang masih junior, melongokkan kepala dari atas kubikel di depanku. Aku hanya melambaikan tangan, menandakan bahwa situasi masih terkendali. Wajah Gita kemudian menghilang dan aku kembali memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan mamaku yang sepertinya tidak sadar akan efek dari informasi yang baru saja disampaikannya padaku.
“Kamu nggak pernah bilang Dokter Kafka itu temen SD kamu?” lanjutnya dengan nada sedikit menuduh. Aku mengembuskan napas dengan sedikit kesal sambil mulai mengumpulkan beberapa Oreo yang masih ada di atas mejaku dan tidak terjatuh ke karpet. Humph… Kafka sudah cerita apa saja ke mamaku? Awas saja kalau dia sampai cerita kejadian di Bali. Aku akan… akan… akan… yah pokoknya ngapain dialah. Dan kalau bisa, apa pun yang akan kulakukan padanya itu bisa membuatnya babak-belur.
“Dia bukan temanku, Ma. Kebetulan saja dia juga murid di SD yang sama di tahun yang sama,” ucapku akhirnya sambil berusaha menyelamatkan satu Oreo yang menggelinding di atas meja dan hampir jatuh ke karpet.
“Berarti dia masih muda sekali, ya?” mamaku berdecak kagum.
“Tapi dia itu benar-benar baik banget. Perhatian sama papa kamu. Belum lagi…” mama lanjut menyebutkan dengan detail setiap hal yang telah dilakukan oleh Kafka untuk papaku.
Rasanya aku ingin menutup telepon saat itu juga, tapi aku belum dapat update tentang papa. “Papa gimana, Ma?” tanyaku, memotong omongan mamaku. Saat itu Gita muncul sambil membawa mangkuk. Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara padanya dan mulai menempatkan Oreo yang masih bisa dimakan ke dalam mangkuk itu. Gita hanya mengangguk sambil mencomot satu Oreo sebelum kemudian kembali ke kubikelnya.
Mamaku terdiam sejenak karena aku memotong alur pembicaraannya, bukan karena tersinggung, tapi karena dia harus memfokuskan pikirannya pada hal baru. Selain sebagai orang yang ramah, mamku juga terkenal sebagai orang yang pikirannya suka lompat dari satu topic ke topic yang lain tanpa ada titik ataupun koma, dan dia berharap orang lain bisa mengikutinya.
“Papa… kata Dokter Kafka sih cukup baik, Cuma memang makanannya harus lebih dikontrol lagi supaya tekanan darahnya bisa lebih stabil dan nggak terlalu tinggi.”
“Kan Dokter Budi sudah bilang dari dulu supaya Papa jangan makan makanan yang terlalu berminyak,” balasku sambil berlutut dan mulai memungut Oreo yang berserakan di karpet di bawah meja kerjaku satu per satu untuk dibuang ke tempat sampah. Aku tahu betul bahwa selama setahun belakangan ini Dokter Budi, internis langganan Papa, sudah mewanti-wanti orangtuaku soal ini. Aku tiba-tiba jadi curiga kenapa mamaku terdengar seperti merasa bersalah. “Papa sudah nggak makan pisang goreng setiap pagi lagi kan, Ma?” “Nggak sih… Cuma…”
“Cuma apa? Nggak pakai Cuma, Ma. Kalau memang nggak boleh ya nggak boleh.”
“Tapi Mama suka kasihan sama Papa kamu. Dia kan memang sukanya pisang goreng.”
“Ya aku juga sukanya makan cokelat setiap hari tapi aku nggak bisa soalnya nanti jerawatan,” balasku dengan sedikit tajam. Aku sudah berhasil membuang semua Oreo yang tadi berada di karpet ke tempat sampah dan duduk kembali di kursiku.
Mamaku terdiam, yang membuatku jadi merasa bersalah karena sudah mengomelinya. “Kafka ngomong apa lagi?”
“Dokter Kafka?”
Aku terpaksa menggigit lidahku agar tidak berteriak frustasi. “Iya,” jawabku pendek. Dalam hati aku menyumpah, “Ya iyalah Kafka yang itu. Mana aku kenal Kafka yang lain? Satu Kafka saja sudah cukup.
Amit-amit, amit-amit kalau sampai ada dua,” sambil mengetukkan buku jariku ke meja kerja. “Oh iya, Mama kan bilang kamu kerja dan agak sibuk jadi mungkin nggak bisa nemenin Papa untuk beberapa pertemuan ke depan, terus dia kelihatan agak kecewa gitu lho, Nad. Mama kan jadi nggak tega.
Jadi Mama kasih saja nomor HP kamu, jadi kan dia bisa kontak kamu kapan saja.”
“Hah?” teriakku terkejut dan sekali lagi kepala Gita muncul dari atas kubikel untuk mengetahui apa yang terjadi. Kali ini aku mengabaikannya dan hanya memutar kursiku agar membelakanginya.
“Lho, kok kamu kaget gitu? Nggak apa-apa kan kalau Dokter Kafka mau kontak kamu?”
“Mama kasih nomor HP aku?” aku masih tidak bisa memercayai nasibku yang semakin hari kok rasanya semakin sial saja.
Aku tidak menerima balasan atas pertanyaanku ini. Aku justru mendengar suara-suara yang teredam dari ujung saluran telepon. Sepertinya Mama sedang berbicara dengan orang lain.
“Halo,” ucapku. “Ma?” untuk menyakinkan bahwa percakapan ini bermasalah bukan karena sinyal HP yang lemah aku pun melirik kepada HP yang berada di genggamanku. Hp-ku menunjukkan bahwa sinyalnya penuh.
Sekali lagi aku mencoba memanggil mamaku, tapi sepertinya dia kini terlibat dalam percakapan tentang bermacam-macam cara memasak tahu Jepang, atau mungkin kembang tahu. Setelah beberapa menit mencoba mengikuti arah percakapan itu dan aku malah jadi semakin bingung, akhirnya aku memutuskan menunggu hingga mamaku selesai berbicara dengan siapa pun yang sedang ngobrol dengannya dan kembali menumpukkan perhatiannya padaku. Kuambil satu Oreo dari dalam mangkuk dan mulai memakannya sedikit demi sedikit. Di antara semua semua biscuit yang dijual di pasaran, favoritku memang Oreo semenjak aku pergi ke Singapura sewaktu SMP dan merasakan biscuit dengan jumlah kalori yang sama dengan burger McDonald’s itu.
“Sori, Nadia, sudah dulu ya teleponnya,” ucap mamaku tiba-tiba, dan sebelum bisa betul-betul sadar apakah Mama memang sedang berbicara padaku, dia sudah menutup telepon itu.
Kutatap HP-ku dengan gemas, seakan-akan benda itu adalah wajah mamaku. Jelas-jelas aku dongkol, tapi aku akhirnya hanya menggeleng dan menyimpan HP-ku kembali ke dalam tas. Jam makan siang sudah berlalu dan aku harus kembali kerja lagi.
“Ada masalah, Nad?” Tanya Gita. Kali ini dia tidak hanya melongokkan kepalanya di atas kubikel, tetapi berdiri di pintu masuk kubikelku.
“Nggak ada,” jawabku sambil tersenyum. Gita sepertinya tidak memercayai kata-kataku, tetapi dia tidak memaksaku. Dia hanya mengangkat kedua alisnya seakan-akan menantangku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ketika aku tetap tidak mengucapkan apa-apa, dia akhirnya meninggalkanku sendiri dengan pikiranku.
Meskipun aku orang yang paling ramah di kantor ini, sebetulnya tidak banyak orang yang tahu tentang kehidupan pribadiku. Dan aku mau tetap menjaga privacy itu. Lain dengan ketiga sobatku yang selalu kelihatan nyaman dengan diri mereka sendiri, aku selalu merasa bahwa aku sangat kurang. Kurang cantik dibandingkan Jana, kurang gaul daripada Dara, dan kurang ambisius dibandingkan Adri. Intinya, aku merasa bahwa aku tidak memiliki kelebihan apa pun yang bisa kutonjolkan. Inilah yang membuatku jadi kurang percaya diri. Alhasil, aku tidak pernah betul-betul jadi diriku sendiri di depan orang lain.
Semua orang yang mengenalku hanya tahu bahwa aku orang yang ramah dan selalu siap membantu.
Tapi kenyataannya adalah, aku melakukan itu semua agar orang menyukaiku dan mau jadi temanku. Tidak ada yang tahu bahwa aku orangnya tidak suka basa-basi dan bahwa aku menyimpan buku harian, satu-satunya tempat aku bisa betul-betul menumpahkan semua yang kurasakan tanpa harus mengkhawatirkan pendapat orang lain jika mendengar apa yang telah kutuliskan di dalamnya. Mungkin satu-satunya orang yang pernah melihat sifat asliku adalah Kafka. Aku berani menunjukkan diriku yang sebenarnya padanya karena aku tidak perlu mengkhawatirkan pendapatnya tentangku, karena aku tidak peduli akan pendapatnya.
***
Aku sedang sibuk browsing Internet untuk mencari tahu tentang bermacam-macam penyakit jantung ketika tiba-tiba suara Josh Groban terlantun. Kulirik layar HP-ku dan langsung mengerutkan keningku. “Unknown”. Itulah kata yang tertuliskan pada layar. Aku paling benci dengan orang yang menggunakan fasilitas semacam ini. Menurutku nomor telepon adalah hak milik umum dan kecuali dia adalah Presiden Republik Indonesia (itu pun tidak betul-betul pengecualian juga), orang seharusnya tidak diperbolehkan menyembunyikan nomor telepon mereka. Kubiarkan telepon itu berbunyi. Kalau memang telepon itu penting, maka mereka akan meninggalkan voicemail atau mengirimkan SMS. Untungnya aku memang tidak pernah memberikan nomor HP-ku kepada klien, jadi aku bisa pasti bahwa yang menelepon bukanlah salah satu klienku. Dan nomor telepon keluarga dekat-ku, orang-orang di kantorku dan temantemanku sudah tercatat di dalam address book HP-ku, jadi nama mereka pasti akan langsung muncul di layar kalau memang mereka yang menelepon. Tidak lama kemudian lagi Broken Vow itu pun berhenti dan aku kembali focus pada risetku.
Papa sudah menjalankan segala macam tes yang harus dilakukan, termasuk EKG dan tes stress jantung. Untuk pertemuan selanjutnya, saat Kafka akan memberitahu hasil semua tes itu, akulah yang akan mengantarkan Papa. Oleh karena itu aku melakukan riset ini supaya bisa lebih memahami keadaan kesehatan Papa ketika Kafka menjelaskan hasil tes itu nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata ada bermacam-macam jenis penyakit jantung. Ada yang menyerang arteri saja, ada yang berurusan khusus dengan otot jantung, pembuluh darah, atau bahkan organ jantung itu sendiri. Ada pula penyakit jantung yang disebabkan tekanan darah tinggi. Penyakit jantung jenis inilah yang aku takutkan diderita papaku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat nama semua jenis penyakit ini ketika sekali lagi suara Josh Groban terdengar dan ketika kulirik layar, ternyata si “Unknown” lagi yang menelepon.
“Halo, siapa nih?” ucapku menjawab telepon itu dengan nada acuh tak acuh. Aku tidak perlu terlalu beramah-tamah dengan orang yang kemungkinan besar hanya mau iseng.
“Mudah-mudahan itu bukan cara kamu ngejawab setiap telepon. Kayaknya orang bakalan langsung mikir kalau mereka salah sambung,” ucap suara yang tidak aku kenal dari ujung saluran telepon. “Mas, kayaknya salah sambung deh,” balasku dan sudah siap untuk menutup teleponku.
“Eh, Nad, jangan ditutup. Ini Kafka.”
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan ketika melakukannya, tetapi aku menyalahkan semua ini pada Oreo yang dengan jumlah kalorinya telah memperlambat fungsi jantungku memompa darah ke otak, sehingga menyebabkan organ tersebut tidak bisa berfungsi dengan sempurna.
“Ooo… hhh, cari Nadia, ya? Dia lagi nggak ada di sini. Dia lagi ke kamar mandi. Telepon lagi saja nanti,” jawabku lalu buru-buru menutup telepon dan loncat-loncat seperti orang kesetanan sambil berteriak kesal di dalam kamar kosku.
“Dasar goblooo…k. apa nggak ada alasan lain?” teriakku memarahi diriku sendiri. What is wrong with me? Aku berharap bahwa Kafka percaya akan kebohonganku, tetapi aku tahu bahwa meskipun otak Kafka mungkin agak kurang sewaktu SD, tetapi bukan berarti dia bodoh. Toh buktinya dia sekarang sudah jadi seorang dokter yang cukup bergengsi, lulusan The Royal College of Surgeon di Inggris pula. Aku tahu semua ini karena sebegitu bencinya aku sama makhluk satu ini sampai-sampai aku pergi ke website rumah sakit spesialis jantung tempatnya praktik untuk mencari tahu tentang latar belakang pendidikannya. Dia bukan hanya lulusan Inggris, tetapi dia juga menyelesaikan residency-nya di sebuah rumah sakit bernama Beaumont, di Dublin, Irlandia selama dua tahun setelah mengambil spesialisasi Kardiologi. Kalau saja aku tahu bahwa informasi selengkap ini tersedia di website rumah sakit, mungkin aku sudah mengusulkan papaku untuk pergi ke dokter lain, sehingga menghindari dilemma yang sekarang kuhadapi karena harus bertemu dengan Kafka lagi.
Sekali lagi kudengar teleponku berbunyi dan tanpa harus melihat layar, aku sudah tahu itu adalah Kafka.
“Halo, Kaf, sori, tadi aku lagi di kamar mandi,” ucapku terburu-buru.
“Nadia?” kudengar suara mamaku yang terdengar agak panic.
“Mama?” ucapku terkejut, bercampur lega, tetapi juga agak sedikit kesal karena Kafka tidak meneleponku balik.
“Nadia, Papa baru kena serangan jantung dan akan dibawa ke UGD…”
Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa pun yang mamaku sedang coba katakana. Kalau sampai papaku harus dibawa ke UGD, berarti keadaan jantungnya lebih parah daripada yang kuperkirakan. Seperti tibatiba terbangun dari mimpi, aku langsung mengambil ahli keadaan dan memberitahu Mama bahwa aku akan berangkat sekarang juga ke rumah sakit. Kulirik Jam dinding yang sudah menunjukkan jam delapan malam. Aku hanya sempat mengambil tas dan kunci mobilku sambil berusaha mengenakan sepatuku pada saat yang bersamaan. Setelah itu aku berlari menuju mobilku sambil menelepon keadaan kedua kakakku yang ternyata sudah ditelepon lebih dulu oleh Mama.






Bab5
21 September
Sori lama nggak ngasih kabar. Gue sibuk banget nih. Belum soal kerja, terus ketakutan urusan ja